Senin, 30 Mei 2011

INKONSISTENSI KEBIJAKAN YANG TIDAK BIJAK


Penelitian Bank Dunia memperlihatkan bahwa faktor penting pertumbuhan ekonomi di Asia Timur sejak Tahun 1970 s/d 1990 adalah investasi SDM melalui sektor pendidikan, Otta Van Bismarck (Jerman) dan Kaisar Meiji (Jepang) berpegang pada paradigma ”to build nation build schools”, tentu dalam hal ini bukan hanya pada pembangunan fisik semata. Statement mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad pada 10 Mei 2008 di Jakarta mengatakan “Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan dari seberapa besar (kaya) sumber daya alamnya, tetapi kualitas sumber daya manusialah yang sangat menentukan, tentunya peningkatan kulitas SDM ini melalui sektor pendidikan, dan sebaliknya pengabaian pendidikan berbuah kemunduran dan kegagalan”.

Bila kita belajar pada sejarah bangsa sendiri, pergerakan nasional pra kemerdekaan diawali atas terpanggilnya moralitas Ratu Wilhelmina pada September 1901 dalam pidato tahunan kerajaannya untuk memperbaiki kehidupan golongan pribumi, hal tersebut dikarenakan rakyat begitu sengsara dan menderita ditanah kelahirannya sendiri akibat kolonialisme, dan akhirnya pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada putra-putri Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi yang kemudian melahirkan sosok Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo, yang melahirkan Budi Utomo (20 Mei 1908). Pasca kemerdekaan, hal tersebut memberi inspirasi kepada para pendiri negara (founding people) bahwa betapa pentingnya pendidikan dengan mencatumkan frasa ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan UUD 1945.

Motto Kota Tangsel telah dilegitimasi berdasarkan PERDA Nomor 4/2010 tentang Lambang Daerah, klausul Cerdas bermakna memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berketerampilan baik disertai prilaku positif. Modern bermakna memiliki peradaban yang dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta Religius bermakna kecerdasan dan kemajuan peradaban senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai luhur ketuhanan yang tercermin dari sikap dan perilaku yang sesuai dengan aturan dan nilai-nilai agama yang dianut secara utuh dan benar.

Motto ini bukan konstruksi kata tanpa makna, melainkan cermin karakteristik serta memiliki makna filosofis sebagai cita-cita dan harapan. Memaknai motto secara keseluruhan akan terdapat pada kesimpulan bahwa sektor pendidikan merupakan podasi utama untuk mewujudkannya, hal ini diperkuat dengan keberadaan salah satu instrument logo daerah, dimana terdapat simbol Pena dan Buku yang bermakna pendidikan sebagai lembaga dan pilar untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, modern dan religius. Dalam korelasinya dengan ilmu perundang-undangan, PERDA yang telah memenuhi unsur histories, yuridis, filosofis dan politis serta ditempatkan pada lembaran daerah, maka ia memiliki kekuatan hukum mengikat seluruh warganya (ficti), tidak terlepas juga para pejabat dan birokrat. Justru idealnya merekalah orang-orang pilihan sebagai golongan terdepan untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung pada lambang daerah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kebijakan Inkonsistensi

Bertolak pada pokok pikiran diatas, maka sektor pendidikan merupakan hal utama yang merupakan hak dasar masyarakat, karena ia memiliki korelasi positif dalam meningkatan kualitas sumber daya manusia, mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, bahkan pada tingkatan tertinggi dipercaya akan menekan angka kemiskinan. Faktanya penerimaan siswa baru (PSB) di Tangsel pada tahun ajaran 2010-2011 untuk SMA/SMK Negeri sangat paradoxs, dengan menggunakan kata normatif Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), orangtua murid harus mengeluarkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah untuk menyekolahkan anaknya.

Pertanyaanya adalah, Pertama : anggaran pendidikan sudah (menjadi kewajiban) dialokasikan sebesar 20% dari APBN/APBD, maka patut diduga telah terjadi penganggaran ganda pada masa PSB (Pemerintah dan Masyarakat). Kedua : nominal tersebut sangat membebankan orangtua serta berpotensi besar menutup akses keluarga prasejahtera dan miskin untuk berpendidikan/sekolah, padahal pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara.  Ketiga : sistem PSB manual, sejatinya di era teknologi, informasi dan komputerisasi, PSB online mencerminkan masyarakat modern seperti halnya di kota Solo, Tangerang dan kota-kota lainnya yang tidak menggunakan kata modern sebagai motto daerahnya namun mampu mengimplementasikannya, selain itu, tujuan terpenting yang ingin dicapai dari sistem PSB online adalah menekan dan meminimalisir peluang KKN dalam masa PSB.

Ketiga pertanyaan tersebut jelas mencerminkan ketidakmampuan dan/atau ketidak pedulian Pemerintahan Daerah (Pemkot dan DPRD) untuk mengendalikannya, Pemkot adalah pelaku tunggal dalam tataran pelaksanaan anggaran, penanggungjawab penuh kebijakan untuk berbuat atau tidak berbuat, khususnya dalam mengendalikan akses pendidikan masyarakat, dimana political will ini dimulai dari Walikota, Kepala Dinas, Kepala Sekolah dan seluruh jajarannya. Dengan demikian, hal ini mencerminkan sikap inkonsistensi kolektif terhadap amanat UU 51/2008, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (welfere society) dalam sikap dan tindak di segala lapangan kehidupan masyarakat yang menjadi urusan kewenangannya guna menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Kekosongan Hukum

Pertama : Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) bukan Negara kekuasaan (machtsstaat), konsekuensinya menurut Prof. Sudargo Gautama adalah bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu, yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. Kedua : masa PSB lalu dan saat ini hanya mendasarkan pada produk hukum sepihak yaitu Peraturan Walikota yang mengatur, termasuk Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), hal ini merupakan sikap dan perbuatan yang bertentangan dengan UU 25/2009 tentang pelayanan publik (vide ayat (3) dan (4) Pasal 31) dimana penentuan besaran biaya/tarif yang dibebankan kepada penerima pelayanan publik (dalam hal ini orang tua murid) harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). Hal ini menunjukan arogansi kekuasaan (executive heavy) dan atau Ketiga : ketidak pedulian DPRD Kota Tangsel terhadap pelayanan dasar pendidikan, karena sepanjang 2010 ini telah mengeluarkan 8 PERDA namun regulasi pelayanan dasar pendidikan tidak menjadi agenda politiknya.

Dengan demikian keadaan saat ini dalam doktrin konsepsi Negara hukum, telah terjadi rechtsvacuum. Kekosongan hukum (rechtsvacuum) dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib masyarakat, pada tingkat daerah yaitu PERDA. Akibatnya terhadap hal atau keadaan yang belum atau tidak diatur dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan lebih jauh akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring) dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, maka telah terbuka ruang koruptif dan pungli. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat terkait pelayanan pendidikan pada masa PSB di Kota Tangsel, serta mempertanyakan kredibilitas & kesungguhan pemerintahan daerah (Pemkot dan DPRD). Semoga saja hal ini tidak berujung pada civil disobedience karena pungutan DSP tersebut tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan oleh hukum.

SUHENDAR
Wakil Koordinator
Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar