Senin, 05 Desember 2011

MEMBANGUN GERAKAN SOSIAL ANTIKORUPSI

Oleh : Hamonangan Purba, S.Sos.

Selama ini, berbagai praktik korupsi hanya didominasi oleh para pejabat di tingkat pusat. Maka tidak heran bila kemudian perhatian banyak orang hanya terfokus pada isu-isu korupsi di tingkat nasional. Demikian juga dengan media massa hampir terlena dengan persoalan yang sama. Fokus utama pemberitaan selalu didominasi berbagai praktik korupsi di tingkat pusat. Padahal di daerah tak kalah banyak kasus korupsinya, yang seringkali kurang menjadi perhatian media massa dan pengawalan masyarakat sipil.

Dalam beberapa hari terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan penyuapan. Pertama kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor. Sang jaksa tertangkap tangan di parkiran kantornya menerima uang yang diduga sogokan sekitar Rp100 juta untuk pengamanan kasus. Belakangan diketahui dana itu hanya uang muka dari total suap sekitar Rp2 miliar. Dua hari lalu, Kamis (24/11), KPK juga menangkap Sekretaris Daerah (Sekda) dan dua orang Anggota DPRD Kota Semarang, Jawa Tengah.

Anggota dewan itu tertangkap tangan menerima uang dari Sekda di parkiran gedung DPRD Kota Semarang. Pihak pemberi uang bernisial AZ diduga adalah Ahmad Zainuri yang menjabat Sekda Pemerintah Kota Semarang. Sedangkan dua orang yang diduga penerima suap adalah Sumartono alias Martono dan Agus Purna Sarjono yang merupakan anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional.

Pemberian uang suap diduga terkait dengan pembahasan APBD tahun anggaran 2012. Penangkapan tersebut merupakan potret bahwa ternyata praktik mafia kasus dan mafia anggaran terjadi di daerah. Bisa jadi inilah modus yang kerap dilakukan di semua daerah. Bayangkan, bila setiap kabupaten dan provinsi melakukan satu kasus mafia anggaran saja, berapa kerugian yang diderita negara. Dari sisi dampak dan kerugian negara pun tidak kalah besar bila diakumulasi dengan jumlah kasus korupsi atau dugaan penyelewengan dana APBD di 33 provinsi dan 496 kabupaten/kota.

Pertanyaannya kemudian mengapa penanganan kasus korupsi di daerah tidak secepat dan setegas penanganan kasus korupsi di pusat? Tentu jawabannya panjang lebar. Beberapa lambatnya penanganan kasus korupsi di daerah akibat lemahnya penegak hukum dalam memberantas kasus korupsi. Memang kita punya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, namun itu saja tidak cukup bila penyidiknya dari Polda dan Kejaksaan Tinggi.

Daerah tidak punya lembaga sekelas KPK yang punya cara kerja cepat dan efektif memberantas korupsi. Apalagi bila majelis hakimnya tidak memiliki visi pemberantasan korupsi yang kuat. Seperti vonis bebas majelis hakim Pengadilan Tipikor atas Walikota Bekasi non aktif Mochtar Muhammad. Fakta persidangan memperkuat keterlibatan dirinya dalam sejumlah kasus korupsi, termasuk penyuapan terhadap pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Bahkan, dalam kasus penyuapan itu, pejabat yang disuap pun sudah divonis penjara.

Bergantung pada KPK

Dalam kasus yang terjadi di Kota Semarang, sejumlah pihak memang tidak percaya sepenuhnya atas penangkapan terhadap Sekda, ketidakpercayaan ini menjadi sesuatu yang wajar ketika ada kemungkinan Sekda menjadi korban pemerasan. Pendapat itu dengan mendasarkan kemungkinan ia sekadar memberi karena sebelumnya ada permintaan dari pihak lain. Terlepas dari posisi Sekda nantinya sebagai tersangka tindak penyuapan atau korban pemerasan, semua bergantung dari penyidikan KPK.

Hasil pemeriksaan bisa memosisikan dia jadi tersangka penyuapan, baik dilakukan sendiri, selaku inidividu atau secara kedinasan, atau di sisi lain dia menjadi korban pemerasan. Keterangan awal ketiga orang itu sangatlah penting. Kalau nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup, dalam arti ada unsur pidana penyuapan pada tindakannya maka Sekda harus ditetapkan sebagai tersangka.

Dia harus menerimanya sebagai sebuah konsekuensi hukum karena penyuapan merupakan tindak pidana yang ada ancaman sanksi pidananya. Hal itu juga berlaku bagi pihak penerima suap. Kasusnya menjadi berbeda bila dalam penyidikan ternyata Akhmat Zaenuri justru menjadi korban pemerasan, dengan konsekuensi ia harus dibebaskan dan pihak yang memeras diproses secara hukum.

Melihat adanya uang dalam amplop yang ditemukan di dalam mobil dinas Agung Purno Sardjono, sangat kecil kemungkinan uang diberikan atas dasar pemerasan. Di sini penyidik mengharapkan kejujuran Akhmat Zaenuri memberikan keterangan dan untuk itu dia harus berani berterus terang. Sikap tidak kooperatif dalam proses penyidikan justru bisa menyulitkan posisinya. Statusnya juga bisa makin sulit kalau dia menghadapi sendiri, dalam arti mengorbankan diri demi mengamankan pihak lain yang sejatinya terkait

Posisi dia tertangkap tangan sangat jelas dan dia dalam kapasitasnya sebagai Sekda, yang secara otomatis atas nama Pemkot. Posisinya sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan pasti akan dikejar oleh penyidik, mengapa hal itu dilakukan dan adakah yang menyuruh. Bisa saja hal itu dilakukan sebagai upaya agar Badan Anggaran (Banggar) DPRD menyetujui RAPBD 2012 yang sedang disusun Pemkot.

Dalam hal pemberantasan korupsi, kuncinya terletak pada empat hal; aturan yang me-madai, ketegasan aparat penegak hukum, integritas pejabat publik, dan pengusaha yang antikorupsi. Bila empat komponen ini bekerja bersama-sama maka korupsi bisa diantisipasi dan dapat dikurangi. Membaca sejumlah kasus korupsi, ternyata faktor yang dominan penyebab suburnya praktik tersebut adalah integritas penegak hukum dan pejabat publik, serta pengusaha yang belum serius antikorupsi.

Pengusaha "hitam‘ memang secara sadar menyuap pejabat (dewan maupun pemerintah) untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Termasuk menawari uang atau materi lainnya kepada penegak hukum agar kasusnya tidak diteruskan. Begitu juga perilaku penegak hukum dan pejabat nakal. Praktik demikian sangat berbahaya dan menyengsarakan rakyat, terutama di daerah-daerah tertinggal. Akhirnya, korupsi hanya bisa diberantas bila empat hal di atas dilakukan secara berbarengan.

Dan tentu kita tidak bisa mengandalkan kesadaran mereka. Kita perlu bekerja sama untuk mengawasi agar birokrasi pemerintah dan DPR tidak berkongkalikong untuk melakukan korupsi. Demikian juga dengan pemerintah daerah serta seluruh aparaturnya, perlu dilakukan pengawasan secara terus menerus agar budaya korupsi dapat segera diakhiri. Disinilah pentingnya membangun kembali semangat antikorupsi sebagai gerakan sosial. Dengan demikian, maka dengan sendirinya upaya atau niat korupsi akan dapat dikikis secara perlahan. ***

Penulis adalah Pemerhati sosial politik, Alumni Fisip Unpad Bandung.

Sumber : Opini - Harian Analisa, Sabtu, 03 Desember 2011

Ide Mempermalukan Koruptor

Rabu, 30 November 2011 | 03:02 WIB
Terkesan mengada-ada, gagasan “kebun koruptor” yang diusung Mahfud Md. sebenarnya tidak mustahil dilaksanakan. Usul Ketua Mahkamah Konstitusi ini sekaligus merupakan kritik terhadap negara kita, yang terlalu lunak terhadap perampok uang rakyat. Umumnya mereka hanya dihukum ringan, kurang dipermalukan, dan masih bisa menikmati harta hasil korupsi setelah bebas.

Mahfud melontarkan ide itu dalam sebuah diskusi di Jakarta yang digelar Masyarakat Transparansi Indonesia belum lama ini. Ia mengusulkan agar koruptor dipermalukan. Caranya, mereka ditempatkan di “kebun koruptor” yang bersebelahan dengan kebun binatang. Kebun itu bisa dibangun di 33 provinsi.

Sebagaimana kebun binatang diberi label nama binatang, kebun koruptor perlu dilengkapi dengan identitas si koruptor, lama hukuman, jumlah uang negara yang dicuri, dan kapan bebas. Di situ dipajang pula foto penyuap. Mahfud mengusulkan agar juga dipamerkan foto korban koruptor. Ada juga diorama sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Gagasan “gila” itu tentu saja mengundang kontroversi. Mudah ditebak, politikus Senayan yang paling dulu tersengat. Mereka menyatakan Mahfud hanya mencari popularitas. Sebagian lainnya menyebut usul itu tak punya dasar hukum. Tapi ide yang tak memiliki landasan hukum bukan berarti otomatis tidak masuk akal. Gagasan itu justru lahir di tengah kekecewaan masyarakat terhadap negara, yang terlalu permisif terhadap koruptor.

Sudah berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus Senayan, pejabat tinggi, dan kepala daerah, tapi orang tetap tak takut merampok duit negara. Ringannya hukuman bagi koruptor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan korupsi tetap merajalela. Jika pun dihukum berat, para koruptor itu dengan mudah bermain mata dengan petugas penjara. Mereka bisa dengan mudah pelesir, menonton pertandingan tenis, atau berbelanja di mal favorit.

Itu sebabnya, usul Mahfud menjadi masuk akal, di samping hukuman yang diperberat dan gagasan lain, seperti memiskinkan koruptor. Bayangkan bila semua itu diterapkan. Tak hanya dihukum bertahun-tahun, sang koruptor dan keluarganya tidak bisa menikmati harta hasil korupsi karena telah disita. Keluarga dan kerabatnya pun malu karena ia masuk kebun koruptor.

Ide pemberian sanksi sosial bagi koruptor sangat relevan untuk memerangi korupsi di negeri ini. Tak harus ditempatkan di kebun koruptor, yang penting mereka dipermalukan. Di Cina, misalnya, terdakwa korupsi menjalani perlakuan yang membuat malu keluarganya. Mereka diborgol tangan dan kaki serta menjalani kerja paksa yang ditayangkan televisi nasional.

Langkah serupa dengan Cina penting untuk dipertimbangkan. Gagasan pemberian sanksi sosial ini bisa dituangkan dalam undang-undang. Bentuknya bermacam-macam, dari penayangan di televisi hingga penempatan di kebun koruptor seperti usul Mahfud. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mendukung gagasan cemerlang itu untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Penolakan terhadap ide Mahfud hanya membuat orang curiga bahwa kalangan legislator banyak yang terjebak dalam kejahatan yang memalukan ini.

Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2011/12/01/1706/Ide-Mempermalukan-Koruptor

Kamis, 15 September 2011

Untukmu Indonesiaku

Untukmu Indonesiaku

indonesiaku
cuacamu tak lagi bisa dibaca
langit robek
udara mabuk karbon
pisau klorin mulai mengiris
ozon menipis
panas bumi menyengat
sungai hitam pekat
laut mendarat
pantai tersikat
nyiur tak lagi melambai

indonesiaku
tanah airmu tak lagi bisa dibaca
hutan digunduli
burung-burung tak lagi bernyanyi
bukit tergerus
air yang tak lagi bersemayam liar
menghantam pemukiman
anak-anak tak berdosa terkubur
tersedak lumpur
mual
bumimu
memuntahkan isi perutnya
menenggelamkan siapa saja

indonesiaku
manusia-manusiamu tak lagi bisa dibaca
tak puas-puasnya menusuk bumi
menghisap madunya
nyaman madunya
nyaman pencurinya sementara
para koruptor diremisi
para jompo makan nasi basi
para pemimpin tak peduli
tuli

INDONESIAku
beri aku pemimpin
segagah soekarno
seramah soeharto
secerdas habibie
sebijak gusdur
setenang mega
sejujur lopa
sesoleh hamka

se

Tangerang, 3 Syawal 1432 H

Rabu, 07 September 2011

Menjarah Hibah Agar Jabatan Tak Hilang

Deden Gunawan - detikNews

Jakarta - Hujan akhir-akhir ini sudah jarang datang. Tapi, bagi sebagian lembaga dan organisasi massa di Banten, hari-hari ini hingga Oktober mendatang justru menjadi musim basah.

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung Oktober nanti, mendadak lembaga dan ormas di Banten diguyur hujan uang. Uang hampir Rp 400 miliar dibagi-bagikan kepada mereka dengan mudahnya. Bahkan ada yang sampai disuruh-suruh membuat proposal untuk diberikan uang.

"Di daerah pantura Banten ada beberapa kelompok masyarakat yang diminta mengirimkan proposal bantuan. Padahal selama ini mereka tidak pernah dan tidak butuh bantuan tersebut," kata Kholil Ismail, Ketua Aliansi Masyarakat Peduli Uang Rakyat (AMPUR) kepada detik+.

Hujan uang itu antara lain mengalir dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Menggandeng Rano Karno, Atut akan kembali maju untuk mempertahankan kursi Banten 1.

Tahun 2011 ini, Pemprov Banten memang memiliki banyak uang untuk dibagi-bagikan sebagai bantuan dan hibah. Pemprov mengalokasikan anggaran sebesar Rp 340, 463 miliar untuk bantuan dana hibah. Sementara untuk bantuan sosial dialokasikan Rp 51 miliar.

Humas Pemprov Banten Komari menjelaskan, bantuan dana hibah tersebut dibagi-bagikan kepada enam kelompok calon penerima bantuan, yaitu; hibah kepada pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengamanan Pemilukada, dan lain-lain.

Kemudian hibah untuk organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan dan Olahraga, seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), KONI, Pramuka, dan lain-lain. Hibah untuk organisasi pendidikan, hibah untuk organisasi keagamaan, hibah untuk organisasi wanita serta hibah untuk kelompok masyarakat atau perorangan seperti yayasan, Dewan Kemakmuran Masjid, dan lain-lain.

Namun ditemukan banyak kejanggalan dalam penggunaan dana hibah tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan uang hibah itu mengalir ke sejumlah lembaga yang mempunyai hubungan kerabat dengan Atut. Misalnya, lembaga yang dipimpin anak, suami, menantu, dan ipar sang gubernur.

Dana hibah antara lain mengalir ke Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebesar Rp 1,85 miliar. Organisasi ini dipimpin Aden Abdul Khalik yang merupakan adik tiri-ipar Ratu Atut.

Ada pula Tagana Banten pimpinan Andhika Hazrumy, anak Atut, yang menerima Rp 1,75 miliar. Kemudian juga mengalir ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayanan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) yang kebetulan dipimpinan Ade Rossi, menantu Atut.

P2TP2A tercatat mendapat dana Rp 1,5 miliar. Istri Andika ini juga dapat dana hibah lain sebesar Rp 3 miliar lewat Himpunan Pendidik Anak Usia Dini (HIMPAUDI) Banten.

Bukan hanya adik dan menantu. Suami Atut, yakni Hikmat Tomet, yang merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah, juga kecipratan Rp 750 juta. Sementara KONI Banten yang diketuai Ady Surya Darma dari Golkar, partai pendukung Atut, mendapat Rp 15 miliar.

"Ini bisa dibilang penjarahan bila dilihat dari aliran dana hibah yang banyak ke kerabat dan keluarga sendiri," kata aktivis ICW Ade Irawan kepada detik+.

Selain masuk ke kantong ormas keluarga Atut sendiri, ICW juga menemukan, ada pengeluaran fiktif dari penyaluran dana hibah tersebut. Dari 30% aliran dana hibah yang diteliti ICW, sebagian ternyata fiktif.

Data ICW, misalnya ada pihak yang mendapat bantuan sekian puluh juta rupiah. Tapi dalam catatan yang ada di Pemprov nilainya lebih dari itu. Bahkan ada yang tercatat menerima, ternyata setelah dicek tidak menerima. "Ini kan laporan fiktif namanya dan ada penyelewengan," jelas Ade.

Dana hibah yang mengalir ke sejumlah lembaga yang dipimpin keluarga dan kolega Atut tidak pelak dicurigai sebagai upaya untuk tujuan pemenangan gubernur Banten ini di Pilkada nanti. "Kecurigaan itu tidak bisa dielakkan. Dan cara seperti ini sering dilakukan incumbent dalam menghadapi Pilkada," terang Ade.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) juga mempunyai kecurigaan serupa. Pasalnya, anggaran Belanja Bantuan Sosial dan Hibah Provinsi Banten 2011 mengalami peningkatan anggaran yang sangat drastis.

Dalam anggaran Bantuan Sosial dan Hibah Pemprov Banten pada 2008, tercatat sekitar Rp 105 miliar. Untuk 2009 sebesar Rp 100, 9 miliar, pada 2010 dana bansos dan hibah ini dialokasikan Rp 101,7 miliar. Lantas pada 2011 terjadi lonjakan hampir tiga kali lipatnya, yakni tercatat mencapai Rp 391,46 miliar

"Tahun 2011 belanja hibah dan bansos di Pemprov Banten melonjak hingga 285%. Ini sangat aneh. Apalagi saat ini menjelang Pilkada," jelas Sekjen FITRA Yuna Farhan kepada detik+.

Menurut Farhan, ketidakjelasan kriteria pengalokasian bansos dan hibah berpotensi digunakan incumbent untuk menarik simpati pemilihan atau kampanye dengan menggunakan APBD.

"Pengalokasian hibah dan bansos sangat mungkin diberikan kepada organisasi masyarakat yang notabene menjadi tim pendukung calon incumbent. Ini bisa dibilang penjarahan dan korupsi politik," tukas Yuna.

Kejanggalan dana bansos dan hibah tersebut dilaporkan AMPUR ke Kejati Banten. Tapi hingga kini belum ada proses. Sementara LSM dari Pandeglang, Banten lainnya yakni Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), melapor ke KPK akhir Agustus lalu. KPK pun memperingatkan kepala daerah agar tidak menyalahgunakan dana hibah. "Gunakan Dana Bantuan Sosial sesuai dengan orang atau organisasi yang berhak menerima bantuan tersebut," tegas Juru Bicara KPK Johan Budi kepada detik+.

Sedangkan ICW melaporkan kejanggalan dana hibah Banten ini ke Kemendagri dan Kemenkeu. Kedua institusi tersebut diminta untuk mengawasi secara ketat anggaran Dana Bantuan Hibah dan Bansos di Pemprov Banten. Supaya tidak disalahgunakan demi Pilkada oleh pasangan Atut-Rano Karno.

Tudingan penyelewengan dana hibah tentu saja dibantah Pemprov Banten. Disebutkan penggunaan dana hibah yang sudah sesuai aturan. "Bantuan dana hibah ini diberikan sesuai dengan Permendagri Nomor 37 Tahun 2010, dan tidak ada yang menyalahi hukum," kata Sekda Banten, Ir. H. Muhadi, MSP dalam rilis yang diterima detik+

Mengenai mengapa penerima hibah banyak lembaga yang dipimpin keluarga dan kerabat Ratu Atut sendiri, Komari menyatakan lembaga tersebut memang layak menerimanya karena memenuhi kriteria untuk mendapat bantuan hibah.

"Terlepas dari siapa yang memimpin, organisasi itu memang layak mendapatkan bantuan karena kiprahnya yang sudah mengakar di masyarakat," kata Komari.

Tulisan detik+ berikutnya: 'Habiskan Ratusan Miliar Masih Minta Nambah', 'Klan Atut dari Jawara Beralih ke Uang' dan 'Ratu Atut Lebih Kaya dari SBY' bisa anda dapatkan di detiKios for Ipad yang tersedia di apple store.


Sumber; http://www.detiknews.com/read/2011/09/08/100540/1717957/159/menjarah-hibah-agar-jabatan-tak-hilang

Senin, 30 Mei 2011

MEMAKNAI PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Wacana perubahan status 5 Desa menjadi kelurahan di Kecamatan Setu terus bergulir, bahkan dapat dipastikan sudah menjadi agenda pemerintahan kota tangsel pada tahun 2011 ini, tersebut hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan para pejabat Pemkot Tangsel, bahkan DPRD Tangsel juga’ngotot’ selalu meminta pemkot untuk segera mengusulkan Raperda-nya dengan asumsi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (publik).

Namun mereka lupa untuk menggali dan bertanya apakah perubahan status desa menjadi kelurahan akan membawa dan menjamin pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik? Sejatinya adalah demikian, karena perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa perangkat di dalamnya juga akan mengalami perubahan secara keseluruhan, yakni sistem pelayanan akan ditangani oleh Pegawai Negeri Sipil yang terikat dengan sumpah, janji dan peraturan perundang-undangan,  sehingga automaticly pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik.

Namun fakta empirik berbicara lain, bentuk pemerintahan kelurahan di Kota Tangsel yang sudah terlebih dahulu mendapat status “kelurahan”, saat ini tidak mampu menunjukan lebih baik dari bentuk pemerintahan desa, karena tetap dalam permasalahan yang sama yaitu tidak ada indikator yang jelas, tegas dan transparan tentang pelayanan masyarakat, termasuk prosedur maupun biaya pelayanan.

Selain itu, bahkan hampir 70 % Lurah dari 49 Kelurahan yang ada tidak memenuhi syarat rigid sebagaimana ditegaskan dalam PP 73/2005 tentang Kelurahan, yaitu Golongan 3C . Lalu semangat apa yang menjadi political will pemerintahan kota Tangsel untuk mengubah status tersebut, benarkah semata untuk pelayanan masyarakat, atau euforia frasa ‘kota’ sehingga merasa malu/tidak pantas pemerintahan desa menjadi bagiannya?

Esensi Pelayanan Masyarakat (Publik)

Pelayanan adalah usaha untuk melayani kebutuhan orang lain, melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan sesorang, dan publik adalah sejumlah orang yang dipersatukan oleh faktor kepentingan yang sama (Burhanuddin dkk, 2005:54), dalam hal ini adalah masyarakat (penerima jasa pelayanan). KemenPAN No.6/2003 menyatakan bahwa : hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Selanjutnya M. Jasin (KPK) mengatakan bahwa dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pelayanan masyarakat (publik) mensyaratkan adanya standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan (M. Jasin dkk, 2007:17), meliputi sekurang-kurangnya : 1). Prosedur pelayanan, dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan, 2). Waktu penyelesaian, ditetapkan dan terukur, 3). Biaya pelayanan, rincian yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan, 4). Produk pelayanan, 5). Sarana dan prasarana, 6). Kompetensi aparat pemberi pelayanan.

Desa, Kelurahan dan Perubahan Status
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai bagian dari perangkat pemerintahan kabupaten/kota dalam wilayah kerja Kecamatan.

Dengan demikian perbedaan pada kedua status pemerintahan tersebut hanya terletak pada pengaturan kelembagaan yaitu desa memiliki otonom sendiri (self governing community) sementara kelurahan merupakan bagian/kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten/kota. Sampai dengan saat ini, tidak ada ketentuan eksplisit dan rigid yang mengatur indikator ‘apa dan kapan’ mengharuskan desa mengubah dirinya menjadi kelurahan, melainkan hanya yurdis implicitly menyebutkan batasan bahwa kelurahan : memiliki keanekaragaman kondisi sosial budaya dan keanekaragaman mata pencaharian masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi dari nilai agraris ke jasa, industri dan produksi serta meningkatnya volume pelayanan.

Dengan demikian ketika desa telah memenuhi batasan tersebut maka telah memenuhi kriteria ideal untuk menjadi kelurahan, maka kemudian diatur bahwa : desa di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan Perda (vide : Pasal 200 (3) UU 32/3004). Namun demikian perlu di pahami bahwa makna “dapat” merupakan sebuah pilihan, sehingga ia tidak sertamerta diharuskan, apalagi mengatakan perubahan status ini sebagai sebuah kewajiban, adalah pernyataan sesat dan menyesatkan.

Merujuk kemudian kepada Permendagri 28/2006 bahwa perubahan status Desa menjadi Kelurahan haruslah berdasarkan prakarsa minimal 2/3 (dua per tiga) dari jumlah penduduk Desa yang mempunyai hak pilih yang kemudian mengajukan usulan tersebut kepada BPD dan Kepala Desa, untuk selanjutnya mengadakan rapat bersama mencapai kesepakatan, mengajukan usulan kepada Walikota, (exifficio) membentuk tim observasi baru kemudian di paripurnakan menjadi Perda tentang Perubahan status desa menjadi kelurahan.

Berdasarkan hal tersebut, jelas pola kebijakan perubahan status adalah bottom up, bukan top down. Oleh karenanya diperlukan informasi yang utuh dan benar kepada masyarakat (top down) terkait perubahan tersebut, bahwa 1). perubahan status akan menjadikan seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa menjadi kekayaan Pemerintah Kota, sehingga hak desa untuk mengurus dan mengatur atas wilayahnya otomatis menjadi hilang, 2). lurah dan perangkatnya akan di isi dari PNS yang tersedia pada Pemerintah Kota, adapun bagi Kepala Desa dan perangkat desa serta anggota BPD dari desa yang diubah statusnya menjadi kelurahan, diberhentikan dengan hormat dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat.

Konklusi

Sudah seyogyanya Pemerintahan Kota Tangsel (Pemkot dan DPRD) tidak perlu tergesa-gesa untuk mengubah status, gali dan pahamilah, bahwa saat ini masih ada kelurahan yang belum optimal memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, bahkan terdapat kelurahan yang di pimpin oleh Lurah berstatus PNS-pun tidak serta merta menjadikan kualitas pelayanan menjadi baik, hal ini menunjukan bentuk pemerintahan desa tidak selalu lebih buruk dari pemerintahan kelurahan.

Pada posisi ini menegaskan bahwa peningkatan kualitas pelayanan tidak memiliki relevansi dengan status kelurahan, karena kualitas pelayanan adalah esensi politik kebijakan pemerintahan Tangsel (Pemkot dan DPRD), bukan terletak pada status/bentuknya. Maka jika kualitas pelayanan masyarakat merupakan alasan perubahan status, diperlukan langkah konkrit untuk : 1). Membuat dan menetapkan standar pelayanan masyarakat, 2). me-restrukturalisasi seluruh lurah agar sesuai dengan kualifikasi standar PP 73/2005 3). membuat kebijakan khusus agar yang sudah berstatus kelurahan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena pelayanan berkualitas merupakan hak konstitusional warga negara.

SUHENDAR
Wakil Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)

INKONSISTENSI KEBIJAKAN YANG TIDAK BIJAK


Penelitian Bank Dunia memperlihatkan bahwa faktor penting pertumbuhan ekonomi di Asia Timur sejak Tahun 1970 s/d 1990 adalah investasi SDM melalui sektor pendidikan, Otta Van Bismarck (Jerman) dan Kaisar Meiji (Jepang) berpegang pada paradigma ”to build nation build schools”, tentu dalam hal ini bukan hanya pada pembangunan fisik semata. Statement mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad pada 10 Mei 2008 di Jakarta mengatakan “Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan dari seberapa besar (kaya) sumber daya alamnya, tetapi kualitas sumber daya manusialah yang sangat menentukan, tentunya peningkatan kulitas SDM ini melalui sektor pendidikan, dan sebaliknya pengabaian pendidikan berbuah kemunduran dan kegagalan”.

Bila kita belajar pada sejarah bangsa sendiri, pergerakan nasional pra kemerdekaan diawali atas terpanggilnya moralitas Ratu Wilhelmina pada September 1901 dalam pidato tahunan kerajaannya untuk memperbaiki kehidupan golongan pribumi, hal tersebut dikarenakan rakyat begitu sengsara dan menderita ditanah kelahirannya sendiri akibat kolonialisme, dan akhirnya pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada putra-putri Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi yang kemudian melahirkan sosok Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo, yang melahirkan Budi Utomo (20 Mei 1908). Pasca kemerdekaan, hal tersebut memberi inspirasi kepada para pendiri negara (founding people) bahwa betapa pentingnya pendidikan dengan mencatumkan frasa ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan UUD 1945.

Motto Kota Tangsel telah dilegitimasi berdasarkan PERDA Nomor 4/2010 tentang Lambang Daerah, klausul Cerdas bermakna memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berketerampilan baik disertai prilaku positif. Modern bermakna memiliki peradaban yang dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta Religius bermakna kecerdasan dan kemajuan peradaban senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai luhur ketuhanan yang tercermin dari sikap dan perilaku yang sesuai dengan aturan dan nilai-nilai agama yang dianut secara utuh dan benar.

Motto ini bukan konstruksi kata tanpa makna, melainkan cermin karakteristik serta memiliki makna filosofis sebagai cita-cita dan harapan. Memaknai motto secara keseluruhan akan terdapat pada kesimpulan bahwa sektor pendidikan merupakan podasi utama untuk mewujudkannya, hal ini diperkuat dengan keberadaan salah satu instrument logo daerah, dimana terdapat simbol Pena dan Buku yang bermakna pendidikan sebagai lembaga dan pilar untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, modern dan religius. Dalam korelasinya dengan ilmu perundang-undangan, PERDA yang telah memenuhi unsur histories, yuridis, filosofis dan politis serta ditempatkan pada lembaran daerah, maka ia memiliki kekuatan hukum mengikat seluruh warganya (ficti), tidak terlepas juga para pejabat dan birokrat. Justru idealnya merekalah orang-orang pilihan sebagai golongan terdepan untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung pada lambang daerah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kebijakan Inkonsistensi

Bertolak pada pokok pikiran diatas, maka sektor pendidikan merupakan hal utama yang merupakan hak dasar masyarakat, karena ia memiliki korelasi positif dalam meningkatan kualitas sumber daya manusia, mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, bahkan pada tingkatan tertinggi dipercaya akan menekan angka kemiskinan. Faktanya penerimaan siswa baru (PSB) di Tangsel pada tahun ajaran 2010-2011 untuk SMA/SMK Negeri sangat paradoxs, dengan menggunakan kata normatif Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), orangtua murid harus mengeluarkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah untuk menyekolahkan anaknya.

Pertanyaanya adalah, Pertama : anggaran pendidikan sudah (menjadi kewajiban) dialokasikan sebesar 20% dari APBN/APBD, maka patut diduga telah terjadi penganggaran ganda pada masa PSB (Pemerintah dan Masyarakat). Kedua : nominal tersebut sangat membebankan orangtua serta berpotensi besar menutup akses keluarga prasejahtera dan miskin untuk berpendidikan/sekolah, padahal pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara.  Ketiga : sistem PSB manual, sejatinya di era teknologi, informasi dan komputerisasi, PSB online mencerminkan masyarakat modern seperti halnya di kota Solo, Tangerang dan kota-kota lainnya yang tidak menggunakan kata modern sebagai motto daerahnya namun mampu mengimplementasikannya, selain itu, tujuan terpenting yang ingin dicapai dari sistem PSB online adalah menekan dan meminimalisir peluang KKN dalam masa PSB.

Ketiga pertanyaan tersebut jelas mencerminkan ketidakmampuan dan/atau ketidak pedulian Pemerintahan Daerah (Pemkot dan DPRD) untuk mengendalikannya, Pemkot adalah pelaku tunggal dalam tataran pelaksanaan anggaran, penanggungjawab penuh kebijakan untuk berbuat atau tidak berbuat, khususnya dalam mengendalikan akses pendidikan masyarakat, dimana political will ini dimulai dari Walikota, Kepala Dinas, Kepala Sekolah dan seluruh jajarannya. Dengan demikian, hal ini mencerminkan sikap inkonsistensi kolektif terhadap amanat UU 51/2008, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (welfere society) dalam sikap dan tindak di segala lapangan kehidupan masyarakat yang menjadi urusan kewenangannya guna menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Kekosongan Hukum

Pertama : Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) bukan Negara kekuasaan (machtsstaat), konsekuensinya menurut Prof. Sudargo Gautama adalah bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu, yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. Kedua : masa PSB lalu dan saat ini hanya mendasarkan pada produk hukum sepihak yaitu Peraturan Walikota yang mengatur, termasuk Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), hal ini merupakan sikap dan perbuatan yang bertentangan dengan UU 25/2009 tentang pelayanan publik (vide ayat (3) dan (4) Pasal 31) dimana penentuan besaran biaya/tarif yang dibebankan kepada penerima pelayanan publik (dalam hal ini orang tua murid) harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). Hal ini menunjukan arogansi kekuasaan (executive heavy) dan atau Ketiga : ketidak pedulian DPRD Kota Tangsel terhadap pelayanan dasar pendidikan, karena sepanjang 2010 ini telah mengeluarkan 8 PERDA namun regulasi pelayanan dasar pendidikan tidak menjadi agenda politiknya.

Dengan demikian keadaan saat ini dalam doktrin konsepsi Negara hukum, telah terjadi rechtsvacuum. Kekosongan hukum (rechtsvacuum) dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib masyarakat, pada tingkat daerah yaitu PERDA. Akibatnya terhadap hal atau keadaan yang belum atau tidak diatur dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan lebih jauh akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring) dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, maka telah terbuka ruang koruptif dan pungli. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat terkait pelayanan pendidikan pada masa PSB di Kota Tangsel, serta mempertanyakan kredibilitas & kesungguhan pemerintahan daerah (Pemkot dan DPRD). Semoga saja hal ini tidak berujung pada civil disobedience karena pungutan DSP tersebut tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan oleh hukum.

SUHENDAR
Wakil Koordinator
Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)

Senin, 09 Mei 2011

DUKUNG PENERAPAN LPSE UNTUK TENDER PEMERINTAH

Kebanyakan kasus korupsi di daerah dipicu oleh proses tender pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan maupun penggelembungan harga. Dari catatan KPK, hingga akhir 2009, sedikitnya terdapat 2.100 kasus yang disampaikan ke lembaga ini terkait penyimpangan pengadaan barang dan jasa di berbagai daerah. Untuk mencegah permainan dalam tender, pemerintah--berdasarkan UU No.11 tahun 2008--mengatur agar semua proyek "pelat merah" dapat ditenderkan secara elektronik, atau yang dikenal dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sistem LPSE dirancang agar tender dapat berlangsung secara efisien, transparan dan akuntabel. Tapi, banyak pemerintah daerah berupaya mencegah pendirian LPSE atau menggagalkan proses pendaftaran di LPSE, dengan berbagai macam alasan yang mengada-ngada.

Mari kita desak pemerintah kota Tangerang Selatan untuk menggelar proses tender dengan sistem LPSE secara transparan dan akuntabel.

Saatnya Menguatkan Peran Civil Society di Tangsel

Saatnya Menguatkan Peran Civil Society di Tangsel

LSM TRUTH Awasi Pekerjaan Airin-Benyamin : TangerangNews.com

LSM TRUTH Awasi Pekerjaan Airin-Benyamin : TangerangNews.com

MANIFESTO TRUTH.

MANIFESTO Tangerang Public Transparency Watch


MENGGALANG GERAKAN MORAL BERSAMA UNTUK MENDORONG TERWUJUDNYA TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS, PARTISIPATIF, BERKEADILAN SOSIAL DAN JENDER, SERTA BERSIH DARI KORUPSI

Secara umum, hingga kini masih terdapat sejumlah problematika krusial di berbagai daerah di Indonesia seperti: minimnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, lemahnya manajemen keuangan, regulasi yang kurang berpihak pada masyarakat, sempitnya ruang partisipasi politik, serta tingginya angka korupsi. Pada tataran ini, desentralisasi terkesan hanya memindahkan “kegiatan” korupsi: yang sebelumnya “terpusat”, kini bertambah di daerah dengan aktor dan areal korupsi yang kian meluas.

Artinya, praktik korupsi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di daerah. Bahkan, birokrasi telah dianggap sebagai mesin keuangan politik bagi kekuatan oligarki yang berkuasa. Kita tahu, korupsi bukan saja merusak mekanisme pasar, tapi pada gilirannya akan melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan di kalangan masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kelumpuhan pada segala aspek kehidupan bermasyarakat. Kejahatan ini membuat kekuasaan yang lahir dari proses politik, diubah menjadi wilayah privat orang yang berkuasa.

Atas dasar itu, TRUTH--dalam konteks Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang—dengan ini menyatakan akan menggalang gerakan moral bersama masyarakat secara intens, sebagai berikut:

1) Mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang demokratis, partisipatif, bersih dari korupsi, serta berlandaskan keadilan sosial dan jender, termasuk membangun derajat akuntabilitas politik yang sehat dan bertanggung jawab antara legislatif dan eksekutif.

2) Mendorong terbukanya akses, penguatan posisi tawar, serta partisipasi masyarakat dalam proses penentuan maupun pengawasan kebijakan publik yang efisien dan efektif—di mana kaidah penyusunan rencana daerah harus dibuat secara sistematis, terpadu, transparan, akuntabel, konsisten, relevan, serta bermuatan adanya kepemilikan rencana bersama.

3) Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan sikap transparansi publik dalam berbagai sektor, yang meliputi laporan kinerja pembangunan ekonomi, kinerja pembangunan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, kinerja pembangunan politik dan pemerintahan, serta laporan kinerja keuangan berdasarkan realisasi APBD.

Tangerang Selatan, 25 April 2011

TRUTH - Tangerang Public Transparency Watch

TRUTH

"TRUTH adalah lembaga nirlaba independen yang mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, keadilan sosial, kesetaraan, demokrasi dan non partisan. Lembaga ini dibangun untuk: (1) Memonitoring serta mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang demokratis, partisipatif, bersih dari korupsi-kolusi-nepotisme, serta berlandaskan keadilan sosial dan jender; (2) Memonitoring serta mendorong terbukanya akses, penguatan posisi tawar, serta partisipasi masyarakat dalam proses penentuan maupun pengawasan kebijakan publik yang efisien dan efektif—dengan mengedepankan kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, akuntabel, konsisten, relevan, serta bermuatan adanya kepemilikan rencana bersama. "

Pada Bidang Penganggaran Daerah, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan program optimalisasi perimbangan dana bagi pemerintah daerah dan penguatan sistem monitoring efektivitas penggunaan anggaran pemerintah yang mengedepankan rasa keadilan sosial serta fokus dalam mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan sikap transparansi, termasuk mengenai laporan kinerja keuangan berdasarkan realisasi APBD--yang seluruhnya dapat diakses publik secara mudah dan terbuka.

Pada Bidang Pembangunan Daerah, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan program pembangunan daerah dalam rangka mendorong optimalisasi konsep pembangunan partisipatif—dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)—hingga tercapai hasil pembangunan yang berkeadilan sosial dan lebih responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Pada Bidang Kerangka Regulasi dan Penegakan Hukum, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan kerangka regulasi daerah dalam rangka mendorong program penyusunan dan implementasi peraturan daerah yang mengedepankan kepentingan publik, untuk mendukung program pembangunan partisipatif, tidak diskriminatif, dan bertanggung jawab, maupun memfasilitasi serta menggalang kampanye publik agar masyarakat dapat mendesakkan isu reformasi hukum, politik, dan birokrasi yang tidak koruptif.

Jumat, 06 Mei 2011

DAFTAR PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (DEPDAGRI - 2011

DAFTAR PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (DEPDAGRI - 2011)

PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (TUJUH PROVINSI) - berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-277 Tahun 2011

1. Provinsi Maluku Utara (skor: 55,88)
2. Prov­vinsi Gorontalo (skor: 51,31)
3. Provinsi Ke­pu­lauan Bangka Be­litung (skor: 49.64)
4. Provinsi Su­la­wesi Barat (skor: 46,73)
5. Provinsi Ke­pu­lauan Riau (skor: 46,64)
6. Provinsi BANTEN (skor: 44,57)
7. Provinsi Papua Barat (skor: 24,99)

Pencapaian Banten di peringkat kedua terendah berdasarkan realisasi yang dihasilkan, di antaranya :

1. Kesejahteraan masyarakat (18,23%)
2. Pelayanan Publik (12,00%)
3. Daya Saing (7,48%)
4. Good Governance (6,86%)

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-276 Tahun 2010, Pemprov Banten mendapat peringkat ke-22 dari 33 Pemprov di Indonesia, dengan skor 2,44.

Berdasarkan evaluasi Depdagri atas 34 daerah pemekaran (kota/kabupaten) terbaru, Kota Tangerang Se­latan berada di peringkat ke-33, dengan total skor 18,28.

RINCIAN SKOR PENILAIAN ATAS KOTA TANGERANG SELATAN :

1. Kesejahteraan Masyarakat (9,23%)
2. Daya Saing (4,00%)
3. Good Governance (3,12%)
4. Pelayanan Publik (1,93%)