Senin, 25 Februari 2013

PROFIL



Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH) didirikan pada 25 April 2011 di Kota Tangerang Selatan, tak lama setelah kota ini memiliki wali kota definitif. Ide awal untuk menggagas pendirian lembaga nirlaba independen ini lahir dari kegelisahan kami—beberapa orang pendiri—yang menyaksikan perjalanan otonomi daerah di Indonesia terlihat semakin muram.

Indonesia di era desentralisasi memang seperti berada di persimpangan jalan: di mana saban hari kita menyaksikan betapa gejala kemunduran berbangsa kian tak terkendali. Negeri ini terus dipenuhi dengan distorsi politik, ekonomi, hukum, juga kultural--lengkap dengan dampaknya yang paling berbahaya: melemahkan simpul-simpul nation kita. Desentralisasi, alih-alih memberikan pengharapan, ia justru membangkitkan kecemasan masyarakat akibat tingginya potensi dehumanisasi, kemerosotan moral, serta perilaku korupsi di daerah.

Dari situlah kami duduk bersama, memikirkan tentang bagaimana menuju sebuah tata pemerintahan daerah yang dapat menjadi harapan warga, minimal di rumah kita sendiri: Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Provinsi Banten. Maka langkah pertama yang kami lakukan adalah dengan melakukan penggalangan gerakan penguatan posisi tawar dan partisipasi masyarakat dalam proses penentuan maupun pengawasan kebijakan publik. Tentu saja, muaranya adalah bagaimana mendorong terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, transparan, partisipatif, berkeadilan sosial-ekonmijender, serta bersih dari korupsi.

Kami sadar, ini bukan perkara gampang. Bahwa pilihan ini menjadi sebuah proses panjang yang (harus) dijalani secara tekun, juga sabar. Meski kami tetap optimis, ini juga bukan kisah tentang merajut sebuah kapal untuk diapungkan ke laut yang tak tahu (akan) melayang ke mana. Bukan pula sebuah kepanikan yang kalang-kabut untuk terus menerus membuat risau. Ini adalah sebuah pilihan logis bahwa kita—masyarakat—bisa menjadikan daerahnya masing-masing sesuai harapan, selama kita mampu membangun ruang-ruang partisipasi.



VISI


Menggalang gerakan masyarakat sipil untuk menguatkan posisi tawar serta partisipasi warga negara dalam proses perencanaan, penentuan, maupun pengawasan kebijakan publik--termasuk mengintegrasikan program antikorupsi--dalam rangka mendorong terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, transparan, partisipatif, berkeadilan sosial-ekonomi-jender, serta bersih dari korupsi.

PERAN

Secara umum, peran yang dibangun Tangerang Public Transparency Watch adalah sebagai berikut :
  • Memfasilitas dan menguatkan gerakan masyarakat masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak-hak warga dalam mendapatkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik serta meningkatkan kualitas partisipasi warga pada proses perencanaan, pengambilan, dan pengawasan kebijakan publik.
  • Menggalang kampanye publik guna mendorong birokrasi yang kondusif bagi upaya pemberantasan korupsi, transparan, serta membuka ruang partisipasi publik yang seluas-luasnya--terutama dalam mengubah kebijakan publik.
  • Menguatkan inisiatif serta kualitas partisipasi masyarakat dalam mengungkap dan melaporkan kasus korupsi, memantau penegakan hukum, serta melakukan upaya hukum publik guna membela hak-hak korban korupsi.


Kamis, 14 Februari 2013

MATA BANTEN


Memerangi korupsi tak mungkin dilakukan seorang diri. Ia harus dibangun dengan tekun, bersama-sama, juga sistematis.


Setidaknya itu benang merah yang terekam di kepala saya dari sebuah pertemuan tiga hari bersama sejumlah penggiat antikorupsi di sebuah penginapan di tepi pantai Anyer, Banten—minggu pertama Februari lalu. Kegiatan yang diinisiasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) ini, juga dihadiri oleh pengamat sosial-politik dari Untirta, Gandung Ismanto, serta sekitar 12 orang aktifis dari lima LSM yang concern dengan isu antikorupsi di Provinsi Banten—baik dari Serang, Pandeglang, Lebak, juga Tangerang Selatan.

Selain mendiskusikan berbagai isu dan penanganan korupsi yang terjadi di sejumlah daerah di Banten, pertemuan ini juga melahirkan sebuah koalisi baru sebagai bagian dari upaya penguatan gerakan antikorupsi di Provinsi Banten. Tanpa perdebatan panjang—toh, seluruh peserta yang hadir memang memiliki misi yang tak jauh berbeda--koalisi baru ini diberi nama Masyarakat Transparansi Banten, atau singkatnya “Mata Banten”—yang diketuai oleh Fuaddudin.  

Bagi saya, pembentukan Mata Banten ini merupakan satu langkah strategis—baik jangka pendek maupun jangka panjang—dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Apalagi kita tahu, Banten termasuk salah satu daerah yang sangat kental dengan jenis birokrasi patrimonial—yang ujung-ujungnya cenderung tabu pada sikap oposisi. Konsekuensinya: fungsi pengawasan secara otomatis menjadi lemah. Toh di sini, pejabat pemerintah (merasa) berhak untuk melakukan kontrol, namun secara bersamaan ia tak (mau) menjadi subyek dari bentuk kontrol apa pun.

Maka imbasnya: potensi perilaku korupsi akan terbuka lebar.

Di sinilah kehadiran Mata Banten menjadi penting, bukan saja untuk mendorong pemerintah daerah bersikap terbuka (transparan), namun juga untuk membangun  gerakan sosial sebanyak dan seberagam mungkin, dengan target utama mendorong proses pemberantasan korupsi. Kita toh tak ingin pengelola daerah menjelma sebagai sebuah “kekuatan jahat yang brutal”—lengkap dengan efek sampingnya yang tak terelakkan: kelumpuhan daerah itu sendiri.

Kita sadar, membangun gerakan sosial antikorupsi (di Banten) memang bukan kerja gampang—meski bukan pula sesuatu yang mustahil. Ini merupakan sesuatu yang perlu dibangun secara tekun, dengan pertama-tama (bagaimana) mengubah energi “kemarahan” yang selama ini menjadi pembentuk, serta pendorong, daya hidup gerakan sosial menjadi energi “perlawanan” politik. Sebab bagi saya, gerakan sosial yang semata-mata mengandalkan kemarahan—yang merupakan sesuatu yang emosional, berjangka pendek, ad hoc--cenderung mudah dipadamkan oleh “hadiah-hadiah artifisial”.

Sebab itu, perlawanan politik terus-menerus merupakan sesuatu yang (lebih) rasional, lebih permanen, bercita-cita, dan tentu saja tak mudah padam oleh hadiah-hadiah artifisial. Artinya, meski berada dalam satu koalisi, atau pentingnya membangun “isu bersama”, saya beranggapan: Mata Banten jangan terjebak pada suatu gerakan sosial yang harus (selalu) “diseragamkan” atau dibuat dalam semacam pusat penyatuan gerakan sosial. Saya percaya, tiap gerakan--sekecil apapun--pada hakikatnya selalu bisa memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi. Ia pada akhirnya akan menjadi semacam bola salju yang terus membesar, memperkuat dirinya dan orang lain, secara alami.

Sebab, meminjam istilah Nurcholish Madjid, bila demokrasi--sebagaimana dipahami di negeri maju—harus punya ’rumah’, maka rumahnya adalah ”masyarakat madani” (civil society).

Hanya saja, mampukah kita melakukannya?. Percaya saja: manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Pengalaman sejarah tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh: satu suara. Manusia memang memiliki kemampuan untuk mengakali dunia, namun sifatnya tak abadi. Diakui atau tidak, kita akan segera menyadari bahwa tiap kekuatan, juga kekuasaan—sebesar apapun--sesungguhnya memiliki batas.

Pada akhirnya, akan selalu lahir mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit dalam militansi, untuk melawan ketidakadilan: memerangi korupsi—termasuk di Provinsi Banten.  

Maka dari ruang ini saya ingin menyampaikan rasa kagum, juga rasa hormat, kepada seluruh teman-teman yang telah begitu tekun membidani Masyarakat Transparansi Banten, sekaligus mengucapkan selamat bekerja sama. Kita memang tak pernah tahu secara pasti apa-apa saja yang akan berubah bersama waktu serta bagaimana proses perubahan itu sendiri. Tapi, mari kita ingat pesan Sri Kresna kepada Arjuna yang (sempat) bimbang—dalam kisah Bhagavad-Gita yang termasyhur itu—sesaat sebelum perang Baratayudha pecah di Padang Kurukasetra.

“Kurawa itu jahat, Arjuna,” ucap Sri Kresna, “maka membiarkan Kurawa berkembang biak, sama saja mengubah dunia menjadi neraka”.

* * * *

Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch,
Anggota Masyarakat Transparansi Banten. 

Rabu, 30 Januari 2013

MELAWAN “CORRUPTED MIND”


MELAWAN “CORRUPTED MIND” 

Karena korupsi adalah problem (bersama) ...

Hidup kita dirundung duka bukan saja oleh maraknya perilaku korup, tapi juga oleh banyaknya persoalan (hukum) yang jadi usang dan ditinggalkan zaman dalam tempo yang kian lekas. Kita tahu sebabnya: sistem hukum telah (lama) menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Keadilan yang dikelola oleh kejaksaan dan kehakiman dibuat setara dengan gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, atau jaket Gucci: bisa dibeli, asal punya uang. Itu sebabnya ia tak menjadi “keadilan”.

Sebagian dari kita memang mencoba melawannya. Tapi, para bandit tak pernah hidup sendiri. Kejahatan korupsi di negeri ini telah menjadi kejahatan struktural: sebuah wacana yang direncanakan, diorganisir, dan dikontrol secara sempurna, hingga mampu melewati semua batasan yang ada—termasuk melampaui batas rasa malu dan imajinasi manusia. Istilah Samuel Huntington, “top heavy corruption”. Ia sudah melampaui batas apa yang disebut sebagai “kejahatan” itu sendiri.

Agaknya ini yang disebut Jean Baudrilland dalam bukunya The Perfect Crime, bahwa kejahatan telah menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai realitas—baik itu hukum, moral, akal sehat, serta budaya. Bahkan yang mengerikan, perilaku korup ini mampu menciptakan sebuah “simulasi”—hasil manipulasi, tentunya—seolah-olah tidak ada penjahat, tidak ada korban, dan tidak ada motif. Istilah Yasraf A Piliang: dunia yang dilipat.

Di sini kita tahu apa yang gawat itu: ada yang tak pasti dan semena-mena di balik tiap penegakan hukum: sikap barbarisme, corrupted mind.

Ketika kejahatan (korupsi) disimulasi sedemikian rupa, dikemas dengan pencitraan tertentu, sehingga tak lagi merepresentasikan kebenaran yang sesungguhnya. Ia mengaburkan fakta yang sesungguhnya, terutama karena praktik politisasi lebih dominan ketimbang praktik hukum yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah multidistorsi: politik, ekonomi, hukum, juga kultural--lengkap dengan dampaknya yang paling berbahaya, yakni melemahkan mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir manusia.

Ketika masyarakat akhirnya terjebak pada situasi di mana ia harus (selalu) mengeluarkan uang sogok meski tahu hal itu tak akan menyelesaikan kemacetan administrasi, melainkan justru akan menular ke pejabat publik lainnya.

Kita boleh berharap corrupted mind akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu masih tipis saat ini—meski kita tak perlu menyerah. Maka apa yang harus dilakukan? Agaknya kita harus ingat: kita punya subyektivitas yang cukup untuk mencoba melawannya dengan radikalisasi secara terus-menerus, berasal dari segala arah dan diselenggarakan dalam segala kesempatan, juga kemungkinan.

Optimisme inilah yang membuat kami tetap menjalankan TRUTH—Tangerang Public Transparency Watch—selama setahun belakangan, meski pergerakannya masih seperti siput yang terluka. Toh, menjalankan TRUTH adalah cara kami membangun sebuah respons dari kebutuhan agar tiap wacana cukup punya ruang, mungkin rongga, bahwa membangun pemerintahan (daerah) yang bersih dari korupsi adalah sebuah kemungkinan yang logis. Bahwa diam tidak cukup memadai untuk melakukan hal itu, sebab diam adalah sebuah pelarian dari ruang publik.

Ini memang soal pilihan: berujar atau diam, membuka atau menutup mulut.

Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch

https://docs.google.com/file/d/0Bw-_kXePQf3KLTkxQzFUZldXWGs/edit