Senin, 05 Desember 2011

MEMBANGUN GERAKAN SOSIAL ANTIKORUPSI

Oleh : Hamonangan Purba, S.Sos.

Selama ini, berbagai praktik korupsi hanya didominasi oleh para pejabat di tingkat pusat. Maka tidak heran bila kemudian perhatian banyak orang hanya terfokus pada isu-isu korupsi di tingkat nasional. Demikian juga dengan media massa hampir terlena dengan persoalan yang sama. Fokus utama pemberitaan selalu didominasi berbagai praktik korupsi di tingkat pusat. Padahal di daerah tak kalah banyak kasus korupsinya, yang seringkali kurang menjadi perhatian media massa dan pengawalan masyarakat sipil.

Dalam beberapa hari terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan penyuapan. Pertama kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor. Sang jaksa tertangkap tangan di parkiran kantornya menerima uang yang diduga sogokan sekitar Rp100 juta untuk pengamanan kasus. Belakangan diketahui dana itu hanya uang muka dari total suap sekitar Rp2 miliar. Dua hari lalu, Kamis (24/11), KPK juga menangkap Sekretaris Daerah (Sekda) dan dua orang Anggota DPRD Kota Semarang, Jawa Tengah.

Anggota dewan itu tertangkap tangan menerima uang dari Sekda di parkiran gedung DPRD Kota Semarang. Pihak pemberi uang bernisial AZ diduga adalah Ahmad Zainuri yang menjabat Sekda Pemerintah Kota Semarang. Sedangkan dua orang yang diduga penerima suap adalah Sumartono alias Martono dan Agus Purna Sarjono yang merupakan anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional.

Pemberian uang suap diduga terkait dengan pembahasan APBD tahun anggaran 2012. Penangkapan tersebut merupakan potret bahwa ternyata praktik mafia kasus dan mafia anggaran terjadi di daerah. Bisa jadi inilah modus yang kerap dilakukan di semua daerah. Bayangkan, bila setiap kabupaten dan provinsi melakukan satu kasus mafia anggaran saja, berapa kerugian yang diderita negara. Dari sisi dampak dan kerugian negara pun tidak kalah besar bila diakumulasi dengan jumlah kasus korupsi atau dugaan penyelewengan dana APBD di 33 provinsi dan 496 kabupaten/kota.

Pertanyaannya kemudian mengapa penanganan kasus korupsi di daerah tidak secepat dan setegas penanganan kasus korupsi di pusat? Tentu jawabannya panjang lebar. Beberapa lambatnya penanganan kasus korupsi di daerah akibat lemahnya penegak hukum dalam memberantas kasus korupsi. Memang kita punya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, namun itu saja tidak cukup bila penyidiknya dari Polda dan Kejaksaan Tinggi.

Daerah tidak punya lembaga sekelas KPK yang punya cara kerja cepat dan efektif memberantas korupsi. Apalagi bila majelis hakimnya tidak memiliki visi pemberantasan korupsi yang kuat. Seperti vonis bebas majelis hakim Pengadilan Tipikor atas Walikota Bekasi non aktif Mochtar Muhammad. Fakta persidangan memperkuat keterlibatan dirinya dalam sejumlah kasus korupsi, termasuk penyuapan terhadap pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Bahkan, dalam kasus penyuapan itu, pejabat yang disuap pun sudah divonis penjara.

Bergantung pada KPK

Dalam kasus yang terjadi di Kota Semarang, sejumlah pihak memang tidak percaya sepenuhnya atas penangkapan terhadap Sekda, ketidakpercayaan ini menjadi sesuatu yang wajar ketika ada kemungkinan Sekda menjadi korban pemerasan. Pendapat itu dengan mendasarkan kemungkinan ia sekadar memberi karena sebelumnya ada permintaan dari pihak lain. Terlepas dari posisi Sekda nantinya sebagai tersangka tindak penyuapan atau korban pemerasan, semua bergantung dari penyidikan KPK.

Hasil pemeriksaan bisa memosisikan dia jadi tersangka penyuapan, baik dilakukan sendiri, selaku inidividu atau secara kedinasan, atau di sisi lain dia menjadi korban pemerasan. Keterangan awal ketiga orang itu sangatlah penting. Kalau nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup, dalam arti ada unsur pidana penyuapan pada tindakannya maka Sekda harus ditetapkan sebagai tersangka.

Dia harus menerimanya sebagai sebuah konsekuensi hukum karena penyuapan merupakan tindak pidana yang ada ancaman sanksi pidananya. Hal itu juga berlaku bagi pihak penerima suap. Kasusnya menjadi berbeda bila dalam penyidikan ternyata Akhmat Zaenuri justru menjadi korban pemerasan, dengan konsekuensi ia harus dibebaskan dan pihak yang memeras diproses secara hukum.

Melihat adanya uang dalam amplop yang ditemukan di dalam mobil dinas Agung Purno Sardjono, sangat kecil kemungkinan uang diberikan atas dasar pemerasan. Di sini penyidik mengharapkan kejujuran Akhmat Zaenuri memberikan keterangan dan untuk itu dia harus berani berterus terang. Sikap tidak kooperatif dalam proses penyidikan justru bisa menyulitkan posisinya. Statusnya juga bisa makin sulit kalau dia menghadapi sendiri, dalam arti mengorbankan diri demi mengamankan pihak lain yang sejatinya terkait

Posisi dia tertangkap tangan sangat jelas dan dia dalam kapasitasnya sebagai Sekda, yang secara otomatis atas nama Pemkot. Posisinya sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan pasti akan dikejar oleh penyidik, mengapa hal itu dilakukan dan adakah yang menyuruh. Bisa saja hal itu dilakukan sebagai upaya agar Badan Anggaran (Banggar) DPRD menyetujui RAPBD 2012 yang sedang disusun Pemkot.

Dalam hal pemberantasan korupsi, kuncinya terletak pada empat hal; aturan yang me-madai, ketegasan aparat penegak hukum, integritas pejabat publik, dan pengusaha yang antikorupsi. Bila empat komponen ini bekerja bersama-sama maka korupsi bisa diantisipasi dan dapat dikurangi. Membaca sejumlah kasus korupsi, ternyata faktor yang dominan penyebab suburnya praktik tersebut adalah integritas penegak hukum dan pejabat publik, serta pengusaha yang belum serius antikorupsi.

Pengusaha "hitam‘ memang secara sadar menyuap pejabat (dewan maupun pemerintah) untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Termasuk menawari uang atau materi lainnya kepada penegak hukum agar kasusnya tidak diteruskan. Begitu juga perilaku penegak hukum dan pejabat nakal. Praktik demikian sangat berbahaya dan menyengsarakan rakyat, terutama di daerah-daerah tertinggal. Akhirnya, korupsi hanya bisa diberantas bila empat hal di atas dilakukan secara berbarengan.

Dan tentu kita tidak bisa mengandalkan kesadaran mereka. Kita perlu bekerja sama untuk mengawasi agar birokrasi pemerintah dan DPR tidak berkongkalikong untuk melakukan korupsi. Demikian juga dengan pemerintah daerah serta seluruh aparaturnya, perlu dilakukan pengawasan secara terus menerus agar budaya korupsi dapat segera diakhiri. Disinilah pentingnya membangun kembali semangat antikorupsi sebagai gerakan sosial. Dengan demikian, maka dengan sendirinya upaya atau niat korupsi akan dapat dikikis secara perlahan. ***

Penulis adalah Pemerhati sosial politik, Alumni Fisip Unpad Bandung.

Sumber : Opini - Harian Analisa, Sabtu, 03 Desember 2011

Ide Mempermalukan Koruptor

Rabu, 30 November 2011 | 03:02 WIB
Terkesan mengada-ada, gagasan “kebun koruptor” yang diusung Mahfud Md. sebenarnya tidak mustahil dilaksanakan. Usul Ketua Mahkamah Konstitusi ini sekaligus merupakan kritik terhadap negara kita, yang terlalu lunak terhadap perampok uang rakyat. Umumnya mereka hanya dihukum ringan, kurang dipermalukan, dan masih bisa menikmati harta hasil korupsi setelah bebas.

Mahfud melontarkan ide itu dalam sebuah diskusi di Jakarta yang digelar Masyarakat Transparansi Indonesia belum lama ini. Ia mengusulkan agar koruptor dipermalukan. Caranya, mereka ditempatkan di “kebun koruptor” yang bersebelahan dengan kebun binatang. Kebun itu bisa dibangun di 33 provinsi.

Sebagaimana kebun binatang diberi label nama binatang, kebun koruptor perlu dilengkapi dengan identitas si koruptor, lama hukuman, jumlah uang negara yang dicuri, dan kapan bebas. Di situ dipajang pula foto penyuap. Mahfud mengusulkan agar juga dipamerkan foto korban koruptor. Ada juga diorama sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Gagasan “gila” itu tentu saja mengundang kontroversi. Mudah ditebak, politikus Senayan yang paling dulu tersengat. Mereka menyatakan Mahfud hanya mencari popularitas. Sebagian lainnya menyebut usul itu tak punya dasar hukum. Tapi ide yang tak memiliki landasan hukum bukan berarti otomatis tidak masuk akal. Gagasan itu justru lahir di tengah kekecewaan masyarakat terhadap negara, yang terlalu permisif terhadap koruptor.

Sudah berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus Senayan, pejabat tinggi, dan kepala daerah, tapi orang tetap tak takut merampok duit negara. Ringannya hukuman bagi koruptor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan korupsi tetap merajalela. Jika pun dihukum berat, para koruptor itu dengan mudah bermain mata dengan petugas penjara. Mereka bisa dengan mudah pelesir, menonton pertandingan tenis, atau berbelanja di mal favorit.

Itu sebabnya, usul Mahfud menjadi masuk akal, di samping hukuman yang diperberat dan gagasan lain, seperti memiskinkan koruptor. Bayangkan bila semua itu diterapkan. Tak hanya dihukum bertahun-tahun, sang koruptor dan keluarganya tidak bisa menikmati harta hasil korupsi karena telah disita. Keluarga dan kerabatnya pun malu karena ia masuk kebun koruptor.

Ide pemberian sanksi sosial bagi koruptor sangat relevan untuk memerangi korupsi di negeri ini. Tak harus ditempatkan di kebun koruptor, yang penting mereka dipermalukan. Di Cina, misalnya, terdakwa korupsi menjalani perlakuan yang membuat malu keluarganya. Mereka diborgol tangan dan kaki serta menjalani kerja paksa yang ditayangkan televisi nasional.

Langkah serupa dengan Cina penting untuk dipertimbangkan. Gagasan pemberian sanksi sosial ini bisa dituangkan dalam undang-undang. Bentuknya bermacam-macam, dari penayangan di televisi hingga penempatan di kebun koruptor seperti usul Mahfud. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mendukung gagasan cemerlang itu untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Penolakan terhadap ide Mahfud hanya membuat orang curiga bahwa kalangan legislator banyak yang terjebak dalam kejahatan yang memalukan ini.

Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2011/12/01/1706/Ide-Mempermalukan-Koruptor