Kamis, 14 Februari 2013

MATA BANTEN


Memerangi korupsi tak mungkin dilakukan seorang diri. Ia harus dibangun dengan tekun, bersama-sama, juga sistematis.


Setidaknya itu benang merah yang terekam di kepala saya dari sebuah pertemuan tiga hari bersama sejumlah penggiat antikorupsi di sebuah penginapan di tepi pantai Anyer, Banten—minggu pertama Februari lalu. Kegiatan yang diinisiasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) ini, juga dihadiri oleh pengamat sosial-politik dari Untirta, Gandung Ismanto, serta sekitar 12 orang aktifis dari lima LSM yang concern dengan isu antikorupsi di Provinsi Banten—baik dari Serang, Pandeglang, Lebak, juga Tangerang Selatan.

Selain mendiskusikan berbagai isu dan penanganan korupsi yang terjadi di sejumlah daerah di Banten, pertemuan ini juga melahirkan sebuah koalisi baru sebagai bagian dari upaya penguatan gerakan antikorupsi di Provinsi Banten. Tanpa perdebatan panjang—toh, seluruh peserta yang hadir memang memiliki misi yang tak jauh berbeda--koalisi baru ini diberi nama Masyarakat Transparansi Banten, atau singkatnya “Mata Banten”—yang diketuai oleh Fuaddudin.  

Bagi saya, pembentukan Mata Banten ini merupakan satu langkah strategis—baik jangka pendek maupun jangka panjang—dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Apalagi kita tahu, Banten termasuk salah satu daerah yang sangat kental dengan jenis birokrasi patrimonial—yang ujung-ujungnya cenderung tabu pada sikap oposisi. Konsekuensinya: fungsi pengawasan secara otomatis menjadi lemah. Toh di sini, pejabat pemerintah (merasa) berhak untuk melakukan kontrol, namun secara bersamaan ia tak (mau) menjadi subyek dari bentuk kontrol apa pun.

Maka imbasnya: potensi perilaku korupsi akan terbuka lebar.

Di sinilah kehadiran Mata Banten menjadi penting, bukan saja untuk mendorong pemerintah daerah bersikap terbuka (transparan), namun juga untuk membangun  gerakan sosial sebanyak dan seberagam mungkin, dengan target utama mendorong proses pemberantasan korupsi. Kita toh tak ingin pengelola daerah menjelma sebagai sebuah “kekuatan jahat yang brutal”—lengkap dengan efek sampingnya yang tak terelakkan: kelumpuhan daerah itu sendiri.

Kita sadar, membangun gerakan sosial antikorupsi (di Banten) memang bukan kerja gampang—meski bukan pula sesuatu yang mustahil. Ini merupakan sesuatu yang perlu dibangun secara tekun, dengan pertama-tama (bagaimana) mengubah energi “kemarahan” yang selama ini menjadi pembentuk, serta pendorong, daya hidup gerakan sosial menjadi energi “perlawanan” politik. Sebab bagi saya, gerakan sosial yang semata-mata mengandalkan kemarahan—yang merupakan sesuatu yang emosional, berjangka pendek, ad hoc--cenderung mudah dipadamkan oleh “hadiah-hadiah artifisial”.

Sebab itu, perlawanan politik terus-menerus merupakan sesuatu yang (lebih) rasional, lebih permanen, bercita-cita, dan tentu saja tak mudah padam oleh hadiah-hadiah artifisial. Artinya, meski berada dalam satu koalisi, atau pentingnya membangun “isu bersama”, saya beranggapan: Mata Banten jangan terjebak pada suatu gerakan sosial yang harus (selalu) “diseragamkan” atau dibuat dalam semacam pusat penyatuan gerakan sosial. Saya percaya, tiap gerakan--sekecil apapun--pada hakikatnya selalu bisa memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi. Ia pada akhirnya akan menjadi semacam bola salju yang terus membesar, memperkuat dirinya dan orang lain, secara alami.

Sebab, meminjam istilah Nurcholish Madjid, bila demokrasi--sebagaimana dipahami di negeri maju—harus punya ’rumah’, maka rumahnya adalah ”masyarakat madani” (civil society).

Hanya saja, mampukah kita melakukannya?. Percaya saja: manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Pengalaman sejarah tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh: satu suara. Manusia memang memiliki kemampuan untuk mengakali dunia, namun sifatnya tak abadi. Diakui atau tidak, kita akan segera menyadari bahwa tiap kekuatan, juga kekuasaan—sebesar apapun--sesungguhnya memiliki batas.

Pada akhirnya, akan selalu lahir mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit dalam militansi, untuk melawan ketidakadilan: memerangi korupsi—termasuk di Provinsi Banten.  

Maka dari ruang ini saya ingin menyampaikan rasa kagum, juga rasa hormat, kepada seluruh teman-teman yang telah begitu tekun membidani Masyarakat Transparansi Banten, sekaligus mengucapkan selamat bekerja sama. Kita memang tak pernah tahu secara pasti apa-apa saja yang akan berubah bersama waktu serta bagaimana proses perubahan itu sendiri. Tapi, mari kita ingat pesan Sri Kresna kepada Arjuna yang (sempat) bimbang—dalam kisah Bhagavad-Gita yang termasyhur itu—sesaat sebelum perang Baratayudha pecah di Padang Kurukasetra.

“Kurawa itu jahat, Arjuna,” ucap Sri Kresna, “maka membiarkan Kurawa berkembang biak, sama saja mengubah dunia menjadi neraka”.

* * * *

Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch,
Anggota Masyarakat Transparansi Banten. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar