Memerangi korupsi tak
mungkin dilakukan seorang diri. Ia harus dibangun dengan tekun, bersama-sama,
juga sistematis.
Setidaknya itu benang merah yang terekam di kepala saya dari sebuah
pertemuan tiga hari bersama sejumlah penggiat antikorupsi di sebuah penginapan
di tepi pantai Anyer, Banten—minggu pertama Februari lalu. Kegiatan yang
diinisiasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) ini, juga dihadiri oleh pengamat sosial-politik
dari Untirta, Gandung Ismanto, serta sekitar 12 orang aktifis dari
lima LSM yang concern dengan isu
antikorupsi di Provinsi Banten—baik dari Serang, Pandeglang, Lebak, juga
Tangerang Selatan.
Selain mendiskusikan berbagai isu dan penanganan korupsi yang terjadi di
sejumlah daerah di Banten, pertemuan ini juga melahirkan sebuah koalisi baru
sebagai bagian dari upaya penguatan gerakan antikorupsi di Provinsi Banten.
Tanpa perdebatan panjang—toh, seluruh peserta yang hadir memang memiliki misi
yang tak jauh berbeda--koalisi baru ini diberi nama Masyarakat Transparansi Banten,
atau singkatnya “Mata Banten”—yang diketuai oleh Fuaddudin.
Bagi saya, pembentukan Mata Banten ini merupakan satu langkah
strategis—baik jangka pendek maupun jangka panjang—dalam upaya pemberantasan
korupsi di daerah. Apalagi kita tahu, Banten termasuk salah satu daerah yang
sangat kental dengan jenis birokrasi patrimonial—yang ujung-ujungnya
cenderung tabu pada sikap oposisi. Konsekuensinya: fungsi pengawasan secara
otomatis menjadi lemah.
Toh di sini, pejabat pemerintah (merasa) berhak untuk melakukan
kontrol, namun secara bersamaan ia tak (mau) menjadi subyek dari bentuk kontrol
apa pun.
Maka imbasnya: potensi perilaku korupsi akan terbuka lebar.
Di sinilah kehadiran Mata Banten menjadi penting, bukan saja untuk
mendorong pemerintah daerah bersikap terbuka (transparan), namun juga untuk
membangun gerakan sosial sebanyak dan seberagam
mungkin, dengan target utama mendorong proses pemberantasan
korupsi. Kita toh tak ingin pengelola daerah menjelma sebagai sebuah “kekuatan
jahat yang brutal”—lengkap dengan efek sampingnya yang tak terelakkan:
kelumpuhan daerah itu sendiri.
Kita sadar, membangun gerakan sosial antikorupsi (di Banten) memang
bukan kerja gampang—meski bukan pula sesuatu yang mustahil. Ini merupakan
sesuatu yang perlu
dibangun secara tekun, dengan pertama-tama (bagaimana)
mengubah
energi “kemarahan” yang selama ini menjadi pembentuk, serta pendorong, daya
hidup gerakan sosial menjadi energi “perlawanan” politik. Sebab bagi saya,
gerakan sosial yang semata-mata mengandalkan “kemarahan”—yang
merupakan sesuatu yang emosional, berjangka pendek, ad hoc--cenderung mudah dipadamkan oleh
“hadiah-hadiah artifisial”.
Sebab itu, perlawanan
politik terus-menerus merupakan sesuatu yang (lebih) rasional, lebih permanen,
bercita-cita, dan tentu saja tak mudah padam oleh hadiah-hadiah artifisial. Artinya, meski berada dalam satu koalisi, atau pentingnya membangun “isu
bersama”, saya beranggapan: Mata Banten jangan terjebak pada suatu gerakan sosial yang harus (selalu) “diseragamkan” atau dibuat dalam semacam pusat penyatuan
gerakan sosial. Saya percaya, tiap gerakan--sekecil apapun--pada
hakikatnya selalu bisa memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi. Ia
pada akhirnya akan menjadi semacam bola salju yang terus membesar, memperkuat
dirinya dan orang lain, secara alami.
Sebab,
meminjam istilah Nurcholish Madjid, bila demokrasi--sebagaimana dipahami di negeri
maju—harus punya ’rumah’, maka rumahnya adalah ”masyarakat madani” (civil
society).
Hanya saja, mampukah kita melakukannya?. Percaya saja: manusia adalah
bermacam-macam kemungkinan. Pengalaman sejarah tak pernah menghadirkan
sebuah masyarakat yang utuh penuh: satu suara. Manusia
memang memiliki kemampuan untuk mengakali dunia, namun
sifatnya tak abadi. Diakui atau tidak, kita
akan segera menyadari bahwa tiap kekuatan, juga kekuasaan—sebesar
apapun--sesungguhnya memiliki batas.
Pada akhirnya, akan
selalu lahir mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat,
segumpal subyektivitas yang terbit dalam militansi,
untuk melawan ketidakadilan: memerangi korupsi—termasuk di Provinsi Banten.
Maka dari ruang ini saya ingin menyampaikan rasa kagum, juga rasa hormat, kepada
seluruh teman-teman yang telah begitu tekun membidani Masyarakat Transparansi Banten, sekaligus mengucapkan selamat bekerja sama. Kita memang tak
pernah tahu secara pasti apa-apa saja yang akan berubah bersama waktu
serta bagaimana proses perubahan itu sendiri.
Tapi, mari
kita ingat pesan Sri Kresna kepada Arjuna
yang (sempat) bimbang—dalam kisah Bhagavad-Gita
yang termasyhur itu—sesaat sebelum perang Baratayudha pecah di Padang
Kurukasetra.
“Kurawa itu jahat, Arjuna,” ucap Sri Kresna, “maka membiarkan Kurawa berkembang
biak, sama saja mengubah dunia menjadi neraka”.
* * * *
Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch,
Anggota Masyarakat Transparansi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar