MELAWAN “CORRUPTED MIND”
Karena korupsi adalah problem (bersama) ...
Hidup kita dirundung duka bukan saja oleh maraknya perilaku korup, tapi
juga oleh banyaknya persoalan (hukum) yang jadi usang dan ditinggalkan zaman
dalam tempo yang kian lekas. Kita tahu sebabnya: sistem hukum telah (lama)
menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Keadilan yang dikelola oleh
kejaksaan dan kehakiman dibuat setara dengan gaun Max Mara, tas Louis Vuitton,
stoking Pierre Mantoux, atau jaket Gucci: bisa dibeli, asal punya uang. Itu
sebabnya ia tak menjadi “keadilan”.
Sebagian dari kita memang mencoba melawannya. Tapi, para bandit tak
pernah hidup sendiri. Kejahatan korupsi di negeri ini telah menjadi kejahatan
struktural: sebuah wacana yang direncanakan, diorganisir, dan dikontrol secara
sempurna, hingga mampu melewati semua batasan yang ada—termasuk melampaui batas
rasa malu dan imajinasi manusia. Istilah Samuel Huntington, “top heavy
corruption”. Ia sudah melampaui batas apa yang disebut sebagai “kejahatan” itu
sendiri.
Agaknya ini yang disebut Jean Baudrilland dalam bukunya The Perfect
Crime, bahwa kejahatan telah menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai
realitas—baik itu hukum, moral, akal sehat, serta budaya. Bahkan yang
mengerikan, perilaku korup ini mampu menciptakan sebuah “simulasi”—hasil
manipulasi, tentunya—seolah-olah tidak ada penjahat, tidak ada korban, dan
tidak ada motif. Istilah Yasraf A Piliang: dunia yang dilipat.
Di sini kita tahu apa yang gawat itu: ada yang tak pasti dan
semena-mena di balik tiap penegakan hukum: sikap barbarisme, corrupted mind.
Ketika kejahatan (korupsi) disimulasi sedemikian rupa, dikemas dengan
pencitraan tertentu, sehingga tak lagi merepresentasikan kebenaran yang
sesungguhnya. Ia mengaburkan fakta yang sesungguhnya, terutama karena praktik
politisasi lebih dominan ketimbang praktik hukum yang sebenarnya. Maka yang
terjadi kemudian adalah multidistorsi: politik, ekonomi, hukum, juga
kultural--lengkap dengan dampaknya yang paling berbahaya, yakni melemahkan
mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir manusia.
Ketika masyarakat akhirnya terjebak pada situasi di mana ia harus
(selalu) mengeluarkan uang sogok meski tahu hal itu tak akan menyelesaikan
kemacetan administrasi, melainkan justru akan menular ke pejabat publik
lainnya.
Kita boleh berharap corrupted mind akan runtuh kelak. Tapi harus
diakui, harapan itu masih tipis saat ini—meski kita tak perlu menyerah. Maka
apa yang harus dilakukan? Agaknya kita harus ingat: kita punya subyektivitas
yang cukup untuk mencoba melawannya dengan radikalisasi secara terus-menerus,
berasal dari segala arah dan diselenggarakan dalam segala kesempatan, juga
kemungkinan.
Optimisme inilah yang membuat kami tetap menjalankan TRUTH—Tangerang
Public Transparency Watch—selama setahun belakangan, meski pergerakannya masih
seperti siput yang terluka. Toh, menjalankan TRUTH adalah cara kami membangun
sebuah respons dari kebutuhan agar tiap wacana cukup punya ruang, mungkin
rongga, bahwa membangun pemerintahan (daerah) yang bersih dari korupsi adalah sebuah
kemungkinan yang logis. Bahwa diam tidak cukup memadai untuk melakukan hal itu,
sebab diam adalah sebuah pelarian dari ruang publik.
Ini memang soal pilihan: berujar atau diam, membuka atau menutup mulut.
Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public
Transparency Watch
https://docs.google.com/file/d/0Bw-_kXePQf3KLTkxQzFUZldXWGs/edit
https://docs.google.com/file/d/0Bw-_kXePQf3KLTkxQzFUZldXWGs/edit