Rabu, 30 Januari 2013

MELAWAN “CORRUPTED MIND”


MELAWAN “CORRUPTED MIND” 

Karena korupsi adalah problem (bersama) ...

Hidup kita dirundung duka bukan saja oleh maraknya perilaku korup, tapi juga oleh banyaknya persoalan (hukum) yang jadi usang dan ditinggalkan zaman dalam tempo yang kian lekas. Kita tahu sebabnya: sistem hukum telah (lama) menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Keadilan yang dikelola oleh kejaksaan dan kehakiman dibuat setara dengan gaun Max Mara, tas Louis Vuitton, stoking Pierre Mantoux, atau jaket Gucci: bisa dibeli, asal punya uang. Itu sebabnya ia tak menjadi “keadilan”.

Sebagian dari kita memang mencoba melawannya. Tapi, para bandit tak pernah hidup sendiri. Kejahatan korupsi di negeri ini telah menjadi kejahatan struktural: sebuah wacana yang direncanakan, diorganisir, dan dikontrol secara sempurna, hingga mampu melewati semua batasan yang ada—termasuk melampaui batas rasa malu dan imajinasi manusia. Istilah Samuel Huntington, “top heavy corruption”. Ia sudah melampaui batas apa yang disebut sebagai “kejahatan” itu sendiri.

Agaknya ini yang disebut Jean Baudrilland dalam bukunya The Perfect Crime, bahwa kejahatan telah menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai realitas—baik itu hukum, moral, akal sehat, serta budaya. Bahkan yang mengerikan, perilaku korup ini mampu menciptakan sebuah “simulasi”—hasil manipulasi, tentunya—seolah-olah tidak ada penjahat, tidak ada korban, dan tidak ada motif. Istilah Yasraf A Piliang: dunia yang dilipat.

Di sini kita tahu apa yang gawat itu: ada yang tak pasti dan semena-mena di balik tiap penegakan hukum: sikap barbarisme, corrupted mind.

Ketika kejahatan (korupsi) disimulasi sedemikian rupa, dikemas dengan pencitraan tertentu, sehingga tak lagi merepresentasikan kebenaran yang sesungguhnya. Ia mengaburkan fakta yang sesungguhnya, terutama karena praktik politisasi lebih dominan ketimbang praktik hukum yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah multidistorsi: politik, ekonomi, hukum, juga kultural--lengkap dengan dampaknya yang paling berbahaya, yakni melemahkan mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir manusia.

Ketika masyarakat akhirnya terjebak pada situasi di mana ia harus (selalu) mengeluarkan uang sogok meski tahu hal itu tak akan menyelesaikan kemacetan administrasi, melainkan justru akan menular ke pejabat publik lainnya.

Kita boleh berharap corrupted mind akan runtuh kelak. Tapi harus diakui, harapan itu masih tipis saat ini—meski kita tak perlu menyerah. Maka apa yang harus dilakukan? Agaknya kita harus ingat: kita punya subyektivitas yang cukup untuk mencoba melawannya dengan radikalisasi secara terus-menerus, berasal dari segala arah dan diselenggarakan dalam segala kesempatan, juga kemungkinan.

Optimisme inilah yang membuat kami tetap menjalankan TRUTH—Tangerang Public Transparency Watch—selama setahun belakangan, meski pergerakannya masih seperti siput yang terluka. Toh, menjalankan TRUTH adalah cara kami membangun sebuah respons dari kebutuhan agar tiap wacana cukup punya ruang, mungkin rongga, bahwa membangun pemerintahan (daerah) yang bersih dari korupsi adalah sebuah kemungkinan yang logis. Bahwa diam tidak cukup memadai untuk melakukan hal itu, sebab diam adalah sebuah pelarian dari ruang publik.

Ini memang soal pilihan: berujar atau diam, membuka atau menutup mulut.

Aru Wijayanto
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch

https://docs.google.com/file/d/0Bw-_kXePQf3KLTkxQzFUZldXWGs/edit