Oleh : Hamonangan Purba, S.Sos.
Selama ini, berbagai praktik korupsi hanya didominasi oleh para pejabat
di tingkat pusat. Maka tidak heran bila kemudian perhatian banyak orang
hanya terfokus pada isu-isu korupsi di tingkat nasional. Demikian juga
dengan media massa hampir terlena dengan persoalan yang sama. Fokus
utama pemberitaan selalu didominasi berbagai praktik korupsi di tingkat
pusat. Padahal di daerah tak kalah banyak kasus korupsinya, yang
seringkali kurang menjadi perhatian media massa dan pengawalan
masyarakat sipil.
Dalam beberapa hari terakhir ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan penyuapan.
Pertama kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong, Bogor. Sang jaksa
tertangkap tangan di parkiran kantornya menerima uang yang diduga
sogokan sekitar Rp100 juta untuk pengamanan kasus. Belakangan diketahui
dana itu hanya uang muka dari total suap sekitar Rp2 miliar. Dua hari
lalu, Kamis (24/11), KPK juga menangkap Sekretaris Daerah (Sekda) dan
dua orang Anggota DPRD Kota Semarang, Jawa Tengah.
Anggota
dewan itu tertangkap tangan menerima uang dari Sekda di parkiran gedung
DPRD Kota Semarang. Pihak pemberi uang bernisial AZ diduga adalah Ahmad
Zainuri yang menjabat Sekda Pemerintah Kota Semarang. Sedangkan dua
orang yang diduga penerima suap adalah Sumartono alias Martono dan Agus
Purna Sarjono yang merupakan anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi
Partai Demokrat dan Fraksi Partai Amanat Nasional.
Pemberian
uang suap diduga terkait dengan pembahasan APBD tahun anggaran 2012.
Penangkapan tersebut merupakan potret bahwa ternyata praktik mafia kasus
dan mafia anggaran terjadi di daerah. Bisa jadi inilah modus yang kerap
dilakukan di semua daerah. Bayangkan, bila setiap kabupaten dan
provinsi melakukan satu kasus mafia anggaran saja, berapa kerugian yang
diderita negara. Dari sisi dampak dan kerugian negara pun tidak kalah
besar bila diakumulasi dengan jumlah kasus korupsi atau dugaan
penyelewengan dana APBD di 33 provinsi dan 496 kabupaten/kota.
Pertanyaannya kemudian mengapa penanganan kasus korupsi di daerah tidak
secepat dan setegas penanganan kasus korupsi di pusat? Tentu jawabannya
panjang lebar. Beberapa lambatnya penanganan kasus korupsi di daerah
akibat lemahnya penegak hukum dalam memberantas kasus korupsi. Memang
kita punya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, namun
itu saja tidak cukup bila penyidiknya dari Polda dan Kejaksaan Tinggi.
Daerah tidak punya lembaga sekelas KPK yang punya cara kerja cepat dan
efektif memberantas korupsi. Apalagi bila majelis hakimnya tidak
memiliki visi pemberantasan korupsi yang kuat. Seperti vonis bebas
majelis hakim Pengadilan Tipikor atas Walikota Bekasi non aktif Mochtar
Muhammad. Fakta persidangan memperkuat keterlibatan dirinya dalam
sejumlah kasus korupsi, termasuk penyuapan terhadap pejabat Kementerian
Lingkungan Hidup. Bahkan, dalam kasus penyuapan itu, pejabat yang disuap
pun sudah divonis penjara.
Bergantung pada KPK
Dalam
kasus yang terjadi di Kota Semarang, sejumlah pihak memang tidak
percaya sepenuhnya atas penangkapan terhadap Sekda, ketidakpercayaan ini
menjadi sesuatu yang wajar ketika ada kemungkinan Sekda menjadi korban
pemerasan. Pendapat itu dengan mendasarkan kemungkinan ia sekadar
memberi karena sebelumnya ada permintaan dari pihak lain. Terlepas dari
posisi Sekda nantinya sebagai tersangka tindak penyuapan atau korban
pemerasan, semua bergantung dari penyidikan KPK.
Hasil
pemeriksaan bisa memosisikan dia jadi tersangka penyuapan, baik
dilakukan sendiri, selaku inidividu atau secara kedinasan, atau di sisi
lain dia menjadi korban pemerasan. Keterangan awal ketiga orang itu
sangatlah penting. Kalau nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup,
dalam arti ada unsur pidana penyuapan pada tindakannya maka Sekda harus
ditetapkan sebagai tersangka.
Dia harus menerimanya sebagai
sebuah konsekuensi hukum karena penyuapan merupakan tindak pidana yang
ada ancaman sanksi pidananya. Hal itu juga berlaku bagi pihak penerima
suap. Kasusnya menjadi berbeda bila dalam penyidikan ternyata Akhmat
Zaenuri justru menjadi korban pemerasan, dengan konsekuensi ia harus
dibebaskan dan pihak yang memeras diproses secara hukum.
Melihat adanya uang dalam amplop yang ditemukan di dalam mobil dinas
Agung Purno Sardjono, sangat kecil kemungkinan uang diberikan atas dasar
pemerasan. Di sini penyidik mengharapkan kejujuran Akhmat Zaenuri
memberikan keterangan dan untuk itu dia harus berani berterus terang.
Sikap tidak kooperatif dalam proses penyidikan justru bisa menyulitkan
posisinya. Statusnya juga bisa makin sulit kalau dia menghadapi sendiri,
dalam arti mengorbankan diri demi mengamankan pihak lain yang sejatinya
terkait
Posisi dia tertangkap tangan sangat jelas dan dia
dalam kapasitasnya sebagai Sekda, yang secara otomatis atas nama Pemkot.
Posisinya sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan pasti akan dikejar
oleh penyidik, mengapa hal itu dilakukan dan adakah yang menyuruh. Bisa
saja hal itu dilakukan sebagai upaya agar Badan Anggaran (Banggar) DPRD
menyetujui RAPBD 2012 yang sedang disusun Pemkot.
Dalam hal
pemberantasan korupsi, kuncinya terletak pada empat hal; aturan yang
me-madai, ketegasan aparat penegak hukum, integritas pejabat publik, dan
pengusaha yang antikorupsi. Bila empat komponen ini bekerja
bersama-sama maka korupsi bisa diantisipasi dan dapat dikurangi. Membaca
sejumlah kasus korupsi, ternyata faktor yang dominan penyebab suburnya
praktik tersebut adalah integritas penegak hukum dan pejabat publik,
serta pengusaha yang belum serius antikorupsi.
Pengusaha
"hitam‘ memang secara sadar menyuap pejabat (dewan maupun pemerintah)
untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Termasuk menawari uang atau
materi lainnya kepada penegak hukum agar kasusnya tidak diteruskan.
Begitu juga perilaku penegak hukum dan pejabat nakal. Praktik demikian
sangat berbahaya dan menyengsarakan rakyat, terutama di daerah-daerah
tertinggal. Akhirnya, korupsi hanya bisa diberantas bila empat hal di
atas dilakukan secara berbarengan.
Dan tentu kita tidak bisa
mengandalkan kesadaran mereka. Kita perlu bekerja sama untuk mengawasi
agar birokrasi pemerintah dan DPR tidak berkongkalikong untuk melakukan
korupsi. Demikian juga dengan pemerintah daerah serta seluruh
aparaturnya, perlu dilakukan pengawasan secara terus menerus agar budaya
korupsi dapat segera diakhiri. Disinilah pentingnya membangun kembali
semangat antikorupsi sebagai gerakan sosial. Dengan demikian, maka
dengan sendirinya upaya atau niat korupsi akan dapat dikikis secara
perlahan. ***
Penulis adalah Pemerhati sosial politik, Alumni Fisip Unpad Bandung.
Sumber : Opini - Harian Analisa, Sabtu, 03 Desember 2011
Senin, 05 Desember 2011
Ide Mempermalukan Koruptor
Rabu, 30 November 2011 | 03:02 WIB
Terkesan mengada-ada, gagasan “kebun
koruptor” yang diusung Mahfud Md. sebenarnya tidak mustahil
dilaksanakan. Usul Ketua Mahkamah Konstitusi ini sekaligus merupakan
kritik terhadap negara kita, yang terlalu lunak terhadap perampok uang
rakyat. Umumnya mereka hanya dihukum ringan, kurang dipermalukan, dan
masih bisa menikmati harta hasil korupsi setelah bebas. Mahfud melontarkan ide itu dalam sebuah diskusi di Jakarta yang digelar Masyarakat Transparansi Indonesia belum lama ini. Ia mengusulkan agar koruptor dipermalukan. Caranya, mereka ditempatkan di “kebun koruptor” yang bersebelahan dengan kebun binatang. Kebun itu bisa dibangun di 33 provinsi.
Sebagaimana kebun binatang diberi label nama binatang, kebun koruptor perlu dilengkapi dengan identitas si koruptor, lama hukuman, jumlah uang negara yang dicuri, dan kapan bebas. Di situ dipajang pula foto penyuap. Mahfud mengusulkan agar juga dipamerkan foto korban koruptor. Ada juga diorama sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Gagasan “gila” itu tentu saja mengundang kontroversi. Mudah ditebak, politikus Senayan yang paling dulu tersengat. Mereka menyatakan Mahfud hanya mencari popularitas. Sebagian lainnya menyebut usul itu tak punya dasar hukum. Tapi ide yang tak memiliki landasan hukum bukan berarti otomatis tidak masuk akal. Gagasan itu justru lahir di tengah kekecewaan masyarakat terhadap negara, yang terlalu permisif terhadap koruptor.
Sudah berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus Senayan, pejabat tinggi, dan kepala daerah, tapi orang tetap tak takut merampok duit negara. Ringannya hukuman bagi koruptor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan korupsi tetap merajalela. Jika pun dihukum berat, para koruptor itu dengan mudah bermain mata dengan petugas penjara. Mereka bisa dengan mudah pelesir, menonton pertandingan tenis, atau berbelanja di mal favorit.
Itu sebabnya, usul Mahfud menjadi masuk akal, di samping hukuman yang diperberat dan gagasan lain, seperti memiskinkan koruptor. Bayangkan bila semua itu diterapkan. Tak hanya dihukum bertahun-tahun, sang koruptor dan keluarganya tidak bisa menikmati harta hasil korupsi karena telah disita. Keluarga dan kerabatnya pun malu karena ia masuk kebun koruptor.
Ide pemberian sanksi sosial bagi koruptor sangat relevan untuk memerangi korupsi di negeri ini. Tak harus ditempatkan di kebun koruptor, yang penting mereka dipermalukan. Di Cina, misalnya, terdakwa korupsi menjalani perlakuan yang membuat malu keluarganya. Mereka diborgol tangan dan kaki serta menjalani kerja paksa yang ditayangkan televisi nasional.
Langkah serupa dengan Cina penting untuk dipertimbangkan. Gagasan pemberian sanksi sosial ini bisa dituangkan dalam undang-undang. Bentuknya bermacam-macam, dari penayangan di televisi hingga penempatan di kebun koruptor seperti usul Mahfud. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mendukung gagasan cemerlang itu untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Penolakan terhadap ide Mahfud hanya membuat orang curiga bahwa kalangan legislator banyak yang terjebak dalam kejahatan yang memalukan ini.
Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2011/12/01/1706/Ide-Mempermalukan-Koruptor
Langganan:
Postingan (Atom)