Senin, 30 Mei 2011

MEMAKNAI PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

Wacana perubahan status 5 Desa menjadi kelurahan di Kecamatan Setu terus bergulir, bahkan dapat dipastikan sudah menjadi agenda pemerintahan kota tangsel pada tahun 2011 ini, tersebut hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan para pejabat Pemkot Tangsel, bahkan DPRD Tangsel juga’ngotot’ selalu meminta pemkot untuk segera mengusulkan Raperda-nya dengan asumsi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (publik).

Namun mereka lupa untuk menggali dan bertanya apakah perubahan status desa menjadi kelurahan akan membawa dan menjamin pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik? Sejatinya adalah demikian, karena perubahan tersebut membawa konsekuensi bahwa perangkat di dalamnya juga akan mengalami perubahan secara keseluruhan, yakni sistem pelayanan akan ditangani oleh Pegawai Negeri Sipil yang terikat dengan sumpah, janji dan peraturan perundang-undangan,  sehingga automaticly pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik.

Namun fakta empirik berbicara lain, bentuk pemerintahan kelurahan di Kota Tangsel yang sudah terlebih dahulu mendapat status “kelurahan”, saat ini tidak mampu menunjukan lebih baik dari bentuk pemerintahan desa, karena tetap dalam permasalahan yang sama yaitu tidak ada indikator yang jelas, tegas dan transparan tentang pelayanan masyarakat, termasuk prosedur maupun biaya pelayanan.

Selain itu, bahkan hampir 70 % Lurah dari 49 Kelurahan yang ada tidak memenuhi syarat rigid sebagaimana ditegaskan dalam PP 73/2005 tentang Kelurahan, yaitu Golongan 3C . Lalu semangat apa yang menjadi political will pemerintahan kota Tangsel untuk mengubah status tersebut, benarkah semata untuk pelayanan masyarakat, atau euforia frasa ‘kota’ sehingga merasa malu/tidak pantas pemerintahan desa menjadi bagiannya?

Esensi Pelayanan Masyarakat (Publik)

Pelayanan adalah usaha untuk melayani kebutuhan orang lain, melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan sesorang, dan publik adalah sejumlah orang yang dipersatukan oleh faktor kepentingan yang sama (Burhanuddin dkk, 2005:54), dalam hal ini adalah masyarakat (penerima jasa pelayanan). KemenPAN No.6/2003 menyatakan bahwa : hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Selanjutnya M. Jasin (KPK) mengatakan bahwa dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pelayanan masyarakat (publik) mensyaratkan adanya standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan (M. Jasin dkk, 2007:17), meliputi sekurang-kurangnya : 1). Prosedur pelayanan, dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan, 2). Waktu penyelesaian, ditetapkan dan terukur, 3). Biaya pelayanan, rincian yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan, 4). Produk pelayanan, 5). Sarana dan prasarana, 6). Kompetensi aparat pemberi pelayanan.

Desa, Kelurahan dan Perubahan Status
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai bagian dari perangkat pemerintahan kabupaten/kota dalam wilayah kerja Kecamatan.

Dengan demikian perbedaan pada kedua status pemerintahan tersebut hanya terletak pada pengaturan kelembagaan yaitu desa memiliki otonom sendiri (self governing community) sementara kelurahan merupakan bagian/kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten/kota. Sampai dengan saat ini, tidak ada ketentuan eksplisit dan rigid yang mengatur indikator ‘apa dan kapan’ mengharuskan desa mengubah dirinya menjadi kelurahan, melainkan hanya yurdis implicitly menyebutkan batasan bahwa kelurahan : memiliki keanekaragaman kondisi sosial budaya dan keanekaragaman mata pencaharian masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi dari nilai agraris ke jasa, industri dan produksi serta meningkatnya volume pelayanan.

Dengan demikian ketika desa telah memenuhi batasan tersebut maka telah memenuhi kriteria ideal untuk menjadi kelurahan, maka kemudian diatur bahwa : desa di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ditetapkan dengan Perda (vide : Pasal 200 (3) UU 32/3004). Namun demikian perlu di pahami bahwa makna “dapat” merupakan sebuah pilihan, sehingga ia tidak sertamerta diharuskan, apalagi mengatakan perubahan status ini sebagai sebuah kewajiban, adalah pernyataan sesat dan menyesatkan.

Merujuk kemudian kepada Permendagri 28/2006 bahwa perubahan status Desa menjadi Kelurahan haruslah berdasarkan prakarsa minimal 2/3 (dua per tiga) dari jumlah penduduk Desa yang mempunyai hak pilih yang kemudian mengajukan usulan tersebut kepada BPD dan Kepala Desa, untuk selanjutnya mengadakan rapat bersama mencapai kesepakatan, mengajukan usulan kepada Walikota, (exifficio) membentuk tim observasi baru kemudian di paripurnakan menjadi Perda tentang Perubahan status desa menjadi kelurahan.

Berdasarkan hal tersebut, jelas pola kebijakan perubahan status adalah bottom up, bukan top down. Oleh karenanya diperlukan informasi yang utuh dan benar kepada masyarakat (top down) terkait perubahan tersebut, bahwa 1). perubahan status akan menjadikan seluruh kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa menjadi kekayaan Pemerintah Kota, sehingga hak desa untuk mengurus dan mengatur atas wilayahnya otomatis menjadi hilang, 2). lurah dan perangkatnya akan di isi dari PNS yang tersedia pada Pemerintah Kota, adapun bagi Kepala Desa dan perangkat desa serta anggota BPD dari desa yang diubah statusnya menjadi kelurahan, diberhentikan dengan hormat dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat.

Konklusi

Sudah seyogyanya Pemerintahan Kota Tangsel (Pemkot dan DPRD) tidak perlu tergesa-gesa untuk mengubah status, gali dan pahamilah, bahwa saat ini masih ada kelurahan yang belum optimal memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, bahkan terdapat kelurahan yang di pimpin oleh Lurah berstatus PNS-pun tidak serta merta menjadikan kualitas pelayanan menjadi baik, hal ini menunjukan bentuk pemerintahan desa tidak selalu lebih buruk dari pemerintahan kelurahan.

Pada posisi ini menegaskan bahwa peningkatan kualitas pelayanan tidak memiliki relevansi dengan status kelurahan, karena kualitas pelayanan adalah esensi politik kebijakan pemerintahan Tangsel (Pemkot dan DPRD), bukan terletak pada status/bentuknya. Maka jika kualitas pelayanan masyarakat merupakan alasan perubahan status, diperlukan langkah konkrit untuk : 1). Membuat dan menetapkan standar pelayanan masyarakat, 2). me-restrukturalisasi seluruh lurah agar sesuai dengan kualifikasi standar PP 73/2005 3). membuat kebijakan khusus agar yang sudah berstatus kelurahan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena pelayanan berkualitas merupakan hak konstitusional warga negara.

SUHENDAR
Wakil Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)

INKONSISTENSI KEBIJAKAN YANG TIDAK BIJAK


Penelitian Bank Dunia memperlihatkan bahwa faktor penting pertumbuhan ekonomi di Asia Timur sejak Tahun 1970 s/d 1990 adalah investasi SDM melalui sektor pendidikan, Otta Van Bismarck (Jerman) dan Kaisar Meiji (Jepang) berpegang pada paradigma ”to build nation build schools”, tentu dalam hal ini bukan hanya pada pembangunan fisik semata. Statement mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad pada 10 Mei 2008 di Jakarta mengatakan “Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan dari seberapa besar (kaya) sumber daya alamnya, tetapi kualitas sumber daya manusialah yang sangat menentukan, tentunya peningkatan kulitas SDM ini melalui sektor pendidikan, dan sebaliknya pengabaian pendidikan berbuah kemunduran dan kegagalan”.

Bila kita belajar pada sejarah bangsa sendiri, pergerakan nasional pra kemerdekaan diawali atas terpanggilnya moralitas Ratu Wilhelmina pada September 1901 dalam pidato tahunan kerajaannya untuk memperbaiki kehidupan golongan pribumi, hal tersebut dikarenakan rakyat begitu sengsara dan menderita ditanah kelahirannya sendiri akibat kolonialisme, dan akhirnya pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada putra-putri Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi yang kemudian melahirkan sosok Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo, yang melahirkan Budi Utomo (20 Mei 1908). Pasca kemerdekaan, hal tersebut memberi inspirasi kepada para pendiri negara (founding people) bahwa betapa pentingnya pendidikan dengan mencatumkan frasa ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pembukaan UUD 1945.

Motto Kota Tangsel telah dilegitimasi berdasarkan PERDA Nomor 4/2010 tentang Lambang Daerah, klausul Cerdas bermakna memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berketerampilan baik disertai prilaku positif. Modern bermakna memiliki peradaban yang dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta Religius bermakna kecerdasan dan kemajuan peradaban senantiasa dibingkai oleh nilai-nilai luhur ketuhanan yang tercermin dari sikap dan perilaku yang sesuai dengan aturan dan nilai-nilai agama yang dianut secara utuh dan benar.

Motto ini bukan konstruksi kata tanpa makna, melainkan cermin karakteristik serta memiliki makna filosofis sebagai cita-cita dan harapan. Memaknai motto secara keseluruhan akan terdapat pada kesimpulan bahwa sektor pendidikan merupakan podasi utama untuk mewujudkannya, hal ini diperkuat dengan keberadaan salah satu instrument logo daerah, dimana terdapat simbol Pena dan Buku yang bermakna pendidikan sebagai lembaga dan pilar untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, modern dan religius. Dalam korelasinya dengan ilmu perundang-undangan, PERDA yang telah memenuhi unsur histories, yuridis, filosofis dan politis serta ditempatkan pada lembaran daerah, maka ia memiliki kekuatan hukum mengikat seluruh warganya (ficti), tidak terlepas juga para pejabat dan birokrat. Justru idealnya merekalah orang-orang pilihan sebagai golongan terdepan untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung pada lambang daerah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kebijakan Inkonsistensi

Bertolak pada pokok pikiran diatas, maka sektor pendidikan merupakan hal utama yang merupakan hak dasar masyarakat, karena ia memiliki korelasi positif dalam meningkatan kualitas sumber daya manusia, mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, bahkan pada tingkatan tertinggi dipercaya akan menekan angka kemiskinan. Faktanya penerimaan siswa baru (PSB) di Tangsel pada tahun ajaran 2010-2011 untuk SMA/SMK Negeri sangat paradoxs, dengan menggunakan kata normatif Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), orangtua murid harus mengeluarkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah untuk menyekolahkan anaknya.

Pertanyaanya adalah, Pertama : anggaran pendidikan sudah (menjadi kewajiban) dialokasikan sebesar 20% dari APBN/APBD, maka patut diduga telah terjadi penganggaran ganda pada masa PSB (Pemerintah dan Masyarakat). Kedua : nominal tersebut sangat membebankan orangtua serta berpotensi besar menutup akses keluarga prasejahtera dan miskin untuk berpendidikan/sekolah, padahal pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara.  Ketiga : sistem PSB manual, sejatinya di era teknologi, informasi dan komputerisasi, PSB online mencerminkan masyarakat modern seperti halnya di kota Solo, Tangerang dan kota-kota lainnya yang tidak menggunakan kata modern sebagai motto daerahnya namun mampu mengimplementasikannya, selain itu, tujuan terpenting yang ingin dicapai dari sistem PSB online adalah menekan dan meminimalisir peluang KKN dalam masa PSB.

Ketiga pertanyaan tersebut jelas mencerminkan ketidakmampuan dan/atau ketidak pedulian Pemerintahan Daerah (Pemkot dan DPRD) untuk mengendalikannya, Pemkot adalah pelaku tunggal dalam tataran pelaksanaan anggaran, penanggungjawab penuh kebijakan untuk berbuat atau tidak berbuat, khususnya dalam mengendalikan akses pendidikan masyarakat, dimana political will ini dimulai dari Walikota, Kepala Dinas, Kepala Sekolah dan seluruh jajarannya. Dengan demikian, hal ini mencerminkan sikap inkonsistensi kolektif terhadap amanat UU 51/2008, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (welfere society) dalam sikap dan tindak di segala lapangan kehidupan masyarakat yang menjadi urusan kewenangannya guna menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Kekosongan Hukum

Pertama : Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) bukan Negara kekuasaan (machtsstaat), konsekuensinya menurut Prof. Sudargo Gautama adalah bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu, yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. Kedua : masa PSB lalu dan saat ini hanya mendasarkan pada produk hukum sepihak yaitu Peraturan Walikota yang mengatur, termasuk Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), hal ini merupakan sikap dan perbuatan yang bertentangan dengan UU 25/2009 tentang pelayanan publik (vide ayat (3) dan (4) Pasal 31) dimana penentuan besaran biaya/tarif yang dibebankan kepada penerima pelayanan publik (dalam hal ini orang tua murid) harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). Hal ini menunjukan arogansi kekuasaan (executive heavy) dan atau Ketiga : ketidak pedulian DPRD Kota Tangsel terhadap pelayanan dasar pendidikan, karena sepanjang 2010 ini telah mengeluarkan 8 PERDA namun regulasi pelayanan dasar pendidikan tidak menjadi agenda politiknya.

Dengan demikian keadaan saat ini dalam doktrin konsepsi Negara hukum, telah terjadi rechtsvacuum. Kekosongan hukum (rechtsvacuum) dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib masyarakat, pada tingkat daerah yaitu PERDA. Akibatnya terhadap hal atau keadaan yang belum atau tidak diatur dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan lebih jauh akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring) dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, maka telah terbuka ruang koruptif dan pungli. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat terkait pelayanan pendidikan pada masa PSB di Kota Tangsel, serta mempertanyakan kredibilitas & kesungguhan pemerintahan daerah (Pemkot dan DPRD). Semoga saja hal ini tidak berujung pada civil disobedience karena pungutan DSP tersebut tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan oleh hukum.

SUHENDAR
Wakil Koordinator
Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH)

Senin, 09 Mei 2011

DUKUNG PENERAPAN LPSE UNTUK TENDER PEMERINTAH

Kebanyakan kasus korupsi di daerah dipicu oleh proses tender pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan maupun penggelembungan harga. Dari catatan KPK, hingga akhir 2009, sedikitnya terdapat 2.100 kasus yang disampaikan ke lembaga ini terkait penyimpangan pengadaan barang dan jasa di berbagai daerah. Untuk mencegah permainan dalam tender, pemerintah--berdasarkan UU No.11 tahun 2008--mengatur agar semua proyek "pelat merah" dapat ditenderkan secara elektronik, atau yang dikenal dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sistem LPSE dirancang agar tender dapat berlangsung secara efisien, transparan dan akuntabel. Tapi, banyak pemerintah daerah berupaya mencegah pendirian LPSE atau menggagalkan proses pendaftaran di LPSE, dengan berbagai macam alasan yang mengada-ngada.

Mari kita desak pemerintah kota Tangerang Selatan untuk menggelar proses tender dengan sistem LPSE secara transparan dan akuntabel.

Saatnya Menguatkan Peran Civil Society di Tangsel

Saatnya Menguatkan Peran Civil Society di Tangsel

LSM TRUTH Awasi Pekerjaan Airin-Benyamin : TangerangNews.com

LSM TRUTH Awasi Pekerjaan Airin-Benyamin : TangerangNews.com

MANIFESTO TRUTH.

MANIFESTO Tangerang Public Transparency Watch


MENGGALANG GERAKAN MORAL BERSAMA UNTUK MENDORONG TERWUJUDNYA TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS, PARTISIPATIF, BERKEADILAN SOSIAL DAN JENDER, SERTA BERSIH DARI KORUPSI

Secara umum, hingga kini masih terdapat sejumlah problematika krusial di berbagai daerah di Indonesia seperti: minimnya pelayanan publik, kapabilitas kebijakan yang rendah, lemahnya manajemen keuangan, regulasi yang kurang berpihak pada masyarakat, sempitnya ruang partisipasi politik, serta tingginya angka korupsi. Pada tataran ini, desentralisasi terkesan hanya memindahkan “kegiatan” korupsi: yang sebelumnya “terpusat”, kini bertambah di daerah dengan aktor dan areal korupsi yang kian meluas.

Artinya, praktik korupsi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di daerah. Bahkan, birokrasi telah dianggap sebagai mesin keuangan politik bagi kekuatan oligarki yang berkuasa. Kita tahu, korupsi bukan saja merusak mekanisme pasar, tapi pada gilirannya akan melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan di kalangan masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kelumpuhan pada segala aspek kehidupan bermasyarakat. Kejahatan ini membuat kekuasaan yang lahir dari proses politik, diubah menjadi wilayah privat orang yang berkuasa.

Atas dasar itu, TRUTH--dalam konteks Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang—dengan ini menyatakan akan menggalang gerakan moral bersama masyarakat secara intens, sebagai berikut:

1) Mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang demokratis, partisipatif, bersih dari korupsi, serta berlandaskan keadilan sosial dan jender, termasuk membangun derajat akuntabilitas politik yang sehat dan bertanggung jawab antara legislatif dan eksekutif.

2) Mendorong terbukanya akses, penguatan posisi tawar, serta partisipasi masyarakat dalam proses penentuan maupun pengawasan kebijakan publik yang efisien dan efektif—di mana kaidah penyusunan rencana daerah harus dibuat secara sistematis, terpadu, transparan, akuntabel, konsisten, relevan, serta bermuatan adanya kepemilikan rencana bersama.

3) Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan sikap transparansi publik dalam berbagai sektor, yang meliputi laporan kinerja pembangunan ekonomi, kinerja pembangunan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, kinerja pembangunan politik dan pemerintahan, serta laporan kinerja keuangan berdasarkan realisasi APBD.

Tangerang Selatan, 25 April 2011

TRUTH - Tangerang Public Transparency Watch

TRUTH

"TRUTH adalah lembaga nirlaba independen yang mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, keadilan sosial, kesetaraan, demokrasi dan non partisan. Lembaga ini dibangun untuk: (1) Memonitoring serta mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang demokratis, partisipatif, bersih dari korupsi-kolusi-nepotisme, serta berlandaskan keadilan sosial dan jender; (2) Memonitoring serta mendorong terbukanya akses, penguatan posisi tawar, serta partisipasi masyarakat dalam proses penentuan maupun pengawasan kebijakan publik yang efisien dan efektif—dengan mengedepankan kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, akuntabel, konsisten, relevan, serta bermuatan adanya kepemilikan rencana bersama. "

Pada Bidang Penganggaran Daerah, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan program optimalisasi perimbangan dana bagi pemerintah daerah dan penguatan sistem monitoring efektivitas penggunaan anggaran pemerintah yang mengedepankan rasa keadilan sosial serta fokus dalam mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan sikap transparansi, termasuk mengenai laporan kinerja keuangan berdasarkan realisasi APBD--yang seluruhnya dapat diakses publik secara mudah dan terbuka.

Pada Bidang Pembangunan Daerah, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan program pembangunan daerah dalam rangka mendorong optimalisasi konsep pembangunan partisipatif—dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)—hingga tercapai hasil pembangunan yang berkeadilan sosial dan lebih responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Pada Bidang Kerangka Regulasi dan Penegakan Hukum, TRUTH bekerja dengan melakukan monitoring, penilaian, advokasi, dan perbandingan kerangka regulasi daerah dalam rangka mendorong program penyusunan dan implementasi peraturan daerah yang mengedepankan kepentingan publik, untuk mendukung program pembangunan partisipatif, tidak diskriminatif, dan bertanggung jawab, maupun memfasilitasi serta menggalang kampanye publik agar masyarakat dapat mendesakkan isu reformasi hukum, politik, dan birokrasi yang tidak koruptif.

Jumat, 06 Mei 2011

DAFTAR PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (DEPDAGRI - 2011

DAFTAR PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (DEPDAGRI - 2011)

PERINGKAT PENYELENGGARAN DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (TUJUH PROVINSI) - berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-277 Tahun 2011

1. Provinsi Maluku Utara (skor: 55,88)
2. Prov­vinsi Gorontalo (skor: 51,31)
3. Provinsi Ke­pu­lauan Bangka Be­litung (skor: 49.64)
4. Provinsi Su­la­wesi Barat (skor: 46,73)
5. Provinsi Ke­pu­lauan Riau (skor: 46,64)
6. Provinsi BANTEN (skor: 44,57)
7. Provinsi Papua Barat (skor: 24,99)

Pencapaian Banten di peringkat kedua terendah berdasarkan realisasi yang dihasilkan, di antaranya :

1. Kesejahteraan masyarakat (18,23%)
2. Pelayanan Publik (12,00%)
3. Daya Saing (7,48%)
4. Good Governance (6,86%)

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-276 Tahun 2010, Pemprov Banten mendapat peringkat ke-22 dari 33 Pemprov di Indonesia, dengan skor 2,44.

Berdasarkan evaluasi Depdagri atas 34 daerah pemekaran (kota/kabupaten) terbaru, Kota Tangerang Se­latan berada di peringkat ke-33, dengan total skor 18,28.

RINCIAN SKOR PENILAIAN ATAS KOTA TANGERANG SELATAN :

1. Kesejahteraan Masyarakat (9,23%)
2. Daya Saing (4,00%)
3. Good Governance (3,12%)
4. Pelayanan Publik (1,93%)